Jumat, 24 Juni 2016

Memuisikan Lembar-lembar Yang Tak Selesai

Berbaris-baris puisi menjemukan ingatanku
tentang menunggu, perpisahan, dan kesedihan.
Apakah puisi selalu perihal kesedihan?
Apakah puisi selalu perihal kursi-kursi yang kosong di kedai kopi favoritmu?
Apakah aku serupa salah satu kursi di kedai itu yang merindui hangat rasanya didekap?
Yang telinga-telinganya lapar akan percakapan sepasang kekasih yang mendiskusikan politik atau hal-hal remeh-temeh.

Setelah hari, dan jam itu,
Kepalaku sibuk membacakan satu-satu puisi kesedihan
Air di mataku menolak kering saat duka menawarinya senyum
Sayang, puisi bukan bedak pelipur lara. Puisi juga bukan badut-badut yang sering menari di pertigaan jalan itu.
Demi membuat mereka, yang lelah seharian suntuk mengingat tenggat waktu, tersenyum walaupun hanya sepotongan kuku.

Setelah hari, dan jam itu,
Malam menjadi isyarat kesedihan bagi siapa saja yang nasibnya sama dengan perempuan yang mencintai yang tidak,
Bulan bahkan hanya menjadi bualan malam paling memuakkan sesemesta raya.
Aih, aduhai, senyummu sebersinar bulan.
Tidakkah bulan mual mendengar kata-kata bualan itu? Ia, sambil berbisik akan berkata, “aku tidak sebercahaya seperti bualanmu. berhentilah menaruh namaku sebagai bualan!”

Seandainya kepalaku punya tubuh; mata, hidung, bibir, telinga, tangan, kaki, rambut-rambut,
ia akan menjelma sebagai penyair, atau pemabuk
yang menukar malam dengan kesedihan-kesedihannya.
Barangkali baginya, malam ialah puisi-puisi yang tak selesai,
karena tak ada hitam yang cukup panjang untuknya mengeja duka-duka.

Bulan, bintang, dan kabut-kabut tipis itu ia bayangkan sambil menguar sungai di sudut-sudut matanya;
Bulan itu matamu yang terang benderang, membuat siapa saja jatuh cinta. Padahal, ia sendiri benci cahaya.
Bintang itu mengerjap-ngerjapkan sinar genit, seolah ia tahu kecantikannya bisa melumpuhkan siapa saja.
Dan kabut-kabut tipis itu serupa pertanyaan-pertanyaan yang beranak-pinak di dusun seorang dukun kampung.
Ah, malam dan hari itu ialah puisi yang tak selesai.

Serupa lembar-lembar kisah kita,
yang dibiarkan tuhan bersarang di lemari bukunya
ketika ia sedang malas menulis cerita tentang malam, atau kursi-kursi kosong di kedai favoritmu.
lembar-lembar itu menumpuk di pojok yang luput dari ingatannya,
sebagai puisi-puisi yang tak selesai.

Entah, sampai kapan.

Jakarta, 23 Juni 2016

Aku Ingin Menjadi Sajak yang Kausukai

Teruntuk kamu

Aku ingin menjadi sajak yang kausukai
Di antara huruf-huruf yang berbaris di kepalamu
Di antara sepi yang berguguran satu-satu di ujung sunyi kamarmu
Di antara angin yang berdesir dalam bingkai jendela hati

Aku ingin menjadi sajak yang kausukai
Kalimat-kalimat yang kauhapal di luar kepala
Kalimat-kalimat yang kaurapal di penghujung malam
Kalimat-kalimat berisi doa yang berjejal di anganmu

Aku ingin menjadi sajak yang kausukai
Sajak yang mengundang senyum di bibirmu
Sajak yang menggetarkan seluruh tubuhmu
Sajak yang membuatmu, mengingatku

- Wid
Jakarta dini hari, 25 Januari 2016

Jumat, 10 Juni 2016

Beda

Kini kita sepakat membisu adalah hal indah
Aku melihatmu bersembunyi
Sendiri disela-sela sepi
Seperti mencoba berlari
Menjauhi diriku
Dan pergi, akankah?

Baiklah mungkin cinta tidak hadir hari ini
Pergi meninggalkan aku dan kamu
Aku pun akan menyepikan aku
Yang tidak bisa kamu jumpai di malam atau senja
Seperti dingin yang tak kumengerti
Hilangku pun demikian

Mungkin dilain hari
Mungkin bertemu lagi
Tapi, tidak hari ini

-wid
Jakarta, 10 Juni 2016

Semesta sore itu

Semesta bicara tanpa bersuara
Semesta ia kadang buta aksara
Sepi itu indah, percayalah
Membisu itu anugerah.

Jumat, 03 Juni 2016

Bicara Makna

Kata-kata hanyalah media
Namun hati kita tidak butuh perantara
Karena Ia mampu menyerap segala bahasa menjadi tiada.

Jakarta, 2 Juni 2016
Teruntuk sore tadi