Kamis, 06 Oktober 2016

Kota Lampu-Lampu

pada gerimis yang rintiknya telah selesai
di sebuah kota yang kini basah
oleh lampu-lampu sebagai bayang-bayang sepi
dan mereka yang sibuk menulis kisah

“tulislah sebuah puisi,” katamu
di belakang tubuhmu, kuhirup wangi hujan
“tentang hujan dan kota lampu-lampu.” tandasmu
dalam kepala, kutulis namamu sebagai judul puisi

kunamai engkau kota lampu-lampu
di mana hujan bisa menjelma jutaan cahaya
pada jalan-jalan basah oleh kenangan
dan air mata para perindu

merah, hijau, kuning, biru
jalan-jalan beradu warna
siapa yang paling terang, siapa paling indah
tak ada yang mampu menandingimu; kota lampu-lampuku

pada hidupku yang pernah hujan berkali-kali
kau ialah kota lampu-lampu
yang buat luka memiliki warna
yang buat satu padu keindahan

hujan dan lampu-lampu
diciuminya jalan-jalan dengan hujan, dan lampu-lampu
yang basah oleh kenang, oleh kita

biar lukaku terus hujan
hidupku pun
tetapi kau, tetap menjadi kota lampu-lampu
yang mengindahkan hujanku

-wid
Jakarta, 06 Oktober 2016

Gedung-gedung bisa menua, tetapi kenangan tidak. Sebuah kota bisa kehilangan pesonanya tapi memori tentang manusia yang hidup disana abadi. Andai mengulang masa lalu semudah duduk di alun-alun dan menatap gedung tua penuh sejarah, tentu takkan kusesali segala gelisah yang kerap mampir saat kita bersama.

Bandung, aku rindu.

Sabtu, 17 September 2016

September Yang Sibuk Memuisikan Rindu

September sibuk memuisikan rindu
Setelah Agustus pergi menyisakan sendu
Tangis, sedu-sedan sepasang kekasih yang saling meninggalkan
Ketika tatap dan ratapan tiada lagi berarti tuk bertahan

Belasan koper pembawa kenang tlah dilarungkan jauh-jauh
Menepikan ingatan-ingatan yang lalang di dua kepala
Percuma, kenangan itu ternyata tertanam dalam-dalam meski raga kian menjauh
Meski lipatan waktu kini terentang untuk saling melupa

Dua kota di kepala yang berbeda, terkadang masih riuh oleh kenangan
Saat malam menjelang, ingatan serupa lalu lintas yang padat lalu lalang
Saat pagi datang, mimpi semalam merupa lembar buram kenang dan harapan
Apalagi ketika rintik hujan memenuhi gendang tipis di telinga, bersenandung

Bayang tubuh laki-laki yang ia cintai menjelma hujan di kota pikirannya
Rindu menembus ulu hati dengan anak panah seruncing kata perpisahan
Di kepala lelakinya, bayang perempuan yang pernah ia cintai, lenyap menjadi kemarau di kotanya
Baginya, musim hujan telah berakhir digantikan musim yang lain

Tetapi dua rindu, semakin hari, semakin tinggi berterbangan ke udara
Ke langit September yang terkadang mendung abu-abu
Sementara dua hati saling melupakan, September sibuk menyusun aksara
Lewat hujan yang turun dari tanggal satu hingga tiga puluh satu

Sesibuk itu September memuisikan rindu

Kepada September Yang Sibuk Memuisikan Rindu,
Akulah Perempuan yang mengerami hujan di kepalaku
Pemilik sayap-sayap rindu yang berterbangan ke langitmu
Perenggut cahaya kuning matahari dan mengubahnya jadi abu-abu

Akulah yang kerap berdoa agar langitmu mendung abu-abu
Sebab lelaki yang kucintai itu mencintai warna abu-abu
Akulah yang memohon hujan kepadamu
Sebab lelaki yang kucintai itu gemar minum kopi sambil mendengar suara hujan yang merdu

Sebab mendung dan hujan pernah mempertemukan kami
Sebab abu-abu dan aroma hujan ialah kenangan paling manis di kisah kami
Sebab aku berharap, hujan yang tumpah, akan mengingatkannya tentang aku
Sebab aku berdoa agar hujan membuatnya rindu padaku

September masih sibuk memuisikan rindu
Sebelum lewat tanggal tiga puluh satu
Hujan serupa celotehan masa lalu
Yang berpuisi dengan sendu

Stasiun Universitas Indonesia, 17 September 2016
Di luar tidak hujan, tapi di kepalaku sedang deras
Oleh ingatan tentang kamu.
Di sini, di stasiun universitas indonesia.
Setahun lalu.

Ini Apa?

Saya bingung harus dari mana puisi ini bermula.
Ini puisi? Oh ya, tentu saja.
Puisi yang tadinya ingin mengajak perasaanku turut serta.
Namun nampaknya, ia kelelahan sendiri telah menunggu berhari-hari.

Apa yang ditunggu? Saya juga entah tidak tahu.
Setidak tahu, apakah ini sebuah puisi? Tidak tahu. Mungkin. Ya, tentu saja.

Semrawut, Jon! Kepalaku semrawut!
Riuh bergemuruh ramai celoteh-celoteh suaramu yang kuhapal.
Serapal do’a yang kau bisikkan ke langit; tentang jadikanlah dia putri hujan supaya turun membasuh tubuhmu.
Kau ingat dia? Iya, dia. Bukan saya, yang jelas.

Ini puisi macam apa? Kata saya, saya bingung. Ini puisi? Ya tentu saja.

Hanya saja apa puisi semenyebalkan ini? Setidakjelas ini?
Ya, kadang-kadang begitu. Biasakanlah.

Penyair kadang tak selalu romantis
Penyair kadang tak selalu sendu biru sebiru kertas warna bocah-bocah TK yang dijadikannya ontang-anting.
Penyair juga terkadang tak semerah muda bulan februari.
Penyair kadang memiliki fantasi gilanya; menulis apa saja yang dirasa pantas.

Abstrak. Tidak jelas. Penuh sampah. Coret sana. Coret sini. Buang.

Ya, penyair kadang seperti itu.

Kau bertanya mengapa? Entah, aku bukan seorang penyair. Bukan juga pujangga.

Aku hanya perempuan yang lagi tak waras isi kepalanya. Bagaimana bisa dikatakan waras, apabila kepalaku saja tertawa sendiri, gaduh sendiri, menangis sendiri? Kau, iya kau. Sedang apa di dalam sana? Hei! Kembali! Kembali! HEI!

Siapa kau?
Siapa? Hah? Aku tidak mengenalmu?
Apa kita dua orang asing? AH…

Bukan?

Lalu kau siapa?
Hah?

Ini puisi?
Bukan. Bukan, tentu saja.

Depok, 17 September 2016

Puisi yang Tak Pernah Kautulis

Puisi yang tak pernah kautulis
Ialah aksara paling merindu
Memintal luka sendiri berpura tersenyum manis
Matanya lebam oleh air mata sebab disesaki sendu

Puisi yang tak pernah kautulis
Ialah kata yang berharap lebur
Pada ingatanmu sebagai bayang yang tak pernah kabur
Dan tak pernah lelah tenggelam dalam tangis

Puisi yang tak pernah kautulis
Ialah suara paling senyap sepi sedu sedan
Menanam luka lewat puisi dua baris
Tanpa terdengar ingar di telingamu, Tuan

Puisi yang tak pernah kautulis
Sepi mengeja tubuh milik sendiri
Desau angin turut coba meramaikan tangis
Menggigilkan sepi sampai mati

Puisi yang tak pernah kautulis
Ialah aku
Yang mengenangmu dengan manis dan tangis
Itu aku

Jakarta, 15 September 2016

Di sini gelap,
Gelap ialah candu
Dalam senyap
Kau ialah yang tak lepas membuatku jatuh

Sebuah Kota di Sepasang Matamu

suatu hari aku pernah mengunjungi sebuah kota
tidak ada yang bisa kulihat di sana selain sepi
duka, dan hal-hal lain yang berupa kesedihan
tidak ada yang bisa kudengar kecuali hening yang menyayat batin

kota itu mirip matamu;
sepasang matahari yang terbit di wajahmu
di bulan juni, di musim hujan
dan kabut-kabut tipis menghalau hangatnya

di sana, aku seorang pengunjung
duduk di sudut taman tanpa seorang kawan
untungnya aku masih mampu bercakap-cakap
dengan kesepian dan secangkir kopi

lampu-lampu berpendaran kala malam datang
sering kulihat seorang perempuan melintas berkali-kali
tapi bukan tubuhku
tubuhku hanya pengunjung yang tak punya tempat tinggal

perempuan itu berlarian kesana – kemari
mirip burung-burung pengantar surat atau angin
perempuan itu lalu lalang tapi tak sendiri, sepertiku
ia bergerombol bersama puisi-puisi yang memiliki mata sendu

kota itu hidup pukul tujuh pagi
aroma kopi dan perempuan yang sering melintas menguarkan wanginya
dan kota itu tutup saat tengah malam atau pukul tiga
puisi dan perempuan itu ialah yang terakhir berada di kota itu

dan aku hanya pejalan kaki yang tersesat
bermimpi punya bangunan yang kusebut rumah
membunuh perempuan yang seringkali melintas itu suatu waktu
sebelum kucuri kesepian itu seluruhnya

kota itu mirip matamu
dan aku sedang berkunjung ke dalam matamu
bercita-cita suatu hari bisa bermukim di sana
tanpa sepi, dan perempuan itu

- Wid
Depok, 17 September 2016

Minggu, 28 Agustus 2016

[CERPEN] Melepasmu – Drive



PRAAAANGGG!

Piring di dapur pecah satu-satu. Andita melemparkannya sebagai bentuk amarah yang seringkali tak terkendali. Perempuan itu menangis, sementara tangannya sibuk meraih piring, gelas lalu melemparkannya ke mana saja. Ke lantai, ke tembok. Meretakkan sunyi yang terjadi berjam-jam lalu.

“Andita, hentikan!” aku menarik tubuhnya menjauh dari rak piring. Tangannya meronta. Perempuan itu terus saja menangis.

“Brengsek kamu, mas! Kamu selingkuh kan? Iya kan?” PRAAANGGG! satu piring dibanting lagi ke depan wajahku. Air matanya leleh serupa lilin yang dibakar api. Bahunya terguncang sebab tangisannya yang memilukan.

Kegusaranku semakin menjadi, kutarik tangannya, tak peduli perempuan itu akan meronta atau mencakar lenganku. Andita sudah kelewatan! Beling-beling gelas dan piring yang berserakan di lantai, kulewati begitu saja tanpa peduli goresannya akan melukaiku dan kaki Andita. Dia sudah kelewatan membuatku muak!

“Mas,lepas, Mas! Brensek kamu, mas! Bajingan!” makinya terus-terusan. Kalau aku bisa tega, mungkin aku bisa menamparnya karena ucapannya yang tak pantas. Tapi aku tak sampai hati melakukannya.

“DIAM! Kamu sudah kelewatan, Dita!” aku mencengkram tangannya. Dita masih menangis sesegukan. Berteriak kesakitan, aku tidak peduli lagi.

“Sakit, mas, lepas!” perempuan itu terus meronta di depanku.

Setelah keluar dari dapur, aku melepasnya.

“Kenapa kamu melakukan itu semua?” tanyaku gusar. Mataku menatapnya tajam, sementara dia masih sibuk menangis.

“Harusnya aku yang bertanya begitu sama kamu, mas!” suara Dita meninggi. Tatapannya tak kalah tajam.

“Apa? Apa yang mau kautanyakan? Apa lagi yang mau kautuduhkan?”

Dita terdiam. Wajahnya membuang muka. Masih menangis.

“Kamu selingkuh! Iya kan?” suara Dita makin meninggi. Perempuan itu sekarang sudah berani mengarahkan telunjuknya ke wajahku.

“Bukti dari mana? Kamu jangan asal menuduh ya?!” Aku semakin gusar. Pertengkaran itu tak lagi dapat terelakan lagi. Andita sudah keterlaluan. Semakin hari, semakin muak saja aku padanya. Perangainya dari dulu tak berubah, sikap cemburunya pun sama.

Dengan gontai langkah Dita menuju kamar, lalu kembali lagi bersama buntalan kemeja putih yang kemarin malam kukenakan.

“Ini apa, mas? APAAA?” Dia melemparkan kemeja itu ke depan wajahku. Pada bagian kerah, aku melihat noda merah muda itu. Noda lipstickperempuan.

“Cium, kemeja itu, mas. CIUM!!” kini Andita menjejalkan kemeja itu ke hidungku. Sekilas, terhirup bau yang asing. Wangi parfum perempuan.

Aku menelan ludah. Habislah sudah, riwayatku.

Perempuan di depanku kini tengah sibuk melepas dasi di kemejaku. Dengan senyum yang terlampir di wajahnya, dia mampu menghapus segala lelah juga kerumitan-kerumitan yang sedang kualami. Aku mengecup keningnya. Debar ini masih utuh untuknya. Belum pernah berkurang sedikit pun. Perempuan itu tertawa.

“Aku rindu kamu, mas.” katanya masih dengan melepas dasi lalu disusul membuka kancing kemejaku.

Kukecup kening itu untuk kedua kali. “Aku juga.” kataku sambil tersenyum. Sudah hampir satu minggu kami tak bertemu lagi. Kesibukan di kantorku, dan urusan yang kian meruncing di rumah, membuatku jarang menemuinya. Dia tersenyum samar. Rambutnya yang lurus dan kemerah-merahan nampak makin menggodaku di kala malam seperti ini. Perempuan itu kini dibalut kemeja putih yang kebesaran di tubuhnya, saking kebesarannya, celana pendeknya pun tertutupi dengan itu. Aku selalu suka bila dia menyambutku dengan penampilannya yang seperti itu; membuatku merasa semakin tertantang untuk mencintainya.

Kancing itu hampir habis ia lepaskan. Lalu dia memajukan tubuhnya untuk melepas kemejaku. Sekilas, tercium aroma tubuh yang bercampur parfum yang sering ia kenakan; aroma yang sama seperti bertahun-tahun yang lalu. Aroma yang sampai kini terus kuingat; cinnamon. Aroma yang tak pernah gagal menghangatkan tubuh dan ingatanku.

Beberapa menit kemudian, tubuhku dan tubuhnya sudah saling berhadap-hadapan. Siap untuk saling mencintai dari posisi yang berlawanan. Atas-bawah. Kuturunkan bibirku sedikit untuk mencium bibirnya yang lembut. Bibir yang dulu hanya membayangiku lewat mimpi. Bibir yang pernah kuterka seberapa lembut rasanya. Kini aku merasakannya. Tekstur bibirnya, tarikan bibir yang saling berpagut, harum liurnya, dan seberapa manis ludah yang saling kita tukar.

Malam ini angin tak mampu lagi mengeringkan tubuh kita yang saling basah. Dinginnya udara malam tak dapat lagi menyentuh kita yang sedang membara dalam lenguhan yang panjang. Suara burung hantu ataupun jangkrik tak terdengar, lenyap oleh suara rintihan dan bunyi-bunyian yang lain. Kita sepasang dosa yang sedang melawan arus takdir yang begitu kejam. Kita sepasan do’a yang tak pernah terkabul, lalu berontak dengan dosa-dosa yang sedang kita perbuat.

Satu tarikan napas terdengar lebih mirip seperti lenguhan.

“Aku….hh…mencintaimu…” bisiknya lembut.

“Aku..juga….hh..” balasku. Kucium lagi bibirnya. Untuk kali terakhir di malam ini. Aku, sungguh-sungguh mencintaimu, lanjutku dalam hati.

Andita sudah menungguku di depan pintu ketika aku baru saja masuk ke dalam rumah. Wajahnya tersenyum. Berbinar-binar. Ini kejadian langka. Biasanya, dia selalu memamerkan wajah muak, kesal, bosan, marah ketika aku sampai di rumah. Tapi ini berbeda. Wajahnya tersenyum. Bibirnya menyungging senyum paling lebar. Dan aku, pernah jatuh cinta dengan senyumnya yang seperti ini.

Berbeda dengan malam satu minggu sebelumnya, ketika dia heboh membanting hampir seluruh perkakas makan di dapur, malam ini Andita terlihat cantik sekali dengan senyum menawan yang pernah memikat hatiku dulu. Akhirnya, selama berbulan-bulan, aku menemukan oase di tengah gurun pasir. Aku menemukan sedikit harapan atas kacaunya rumah tanggaku belakangan ini.

“Mas…sudah pulang? Aku menunggu kamu dari tadi, lho..” katanya lembut sambil melepas dasi dan kemejaku. Seingatku, ini kali pertamanya dia lakukan sejak pernikahanku satu tahu lalu.

“Ngg…kamu kok tumben, bun manis begini…” kataku menggodanya. Dia tersenyum, matanya menyimpan banyak rona bahagia.

“Aku cuma mau jadi istri yang baik buat kamu, mas.” katanya lembut. Lalu tubuhnya memelukku. Seperti ada yang salah, dia memelukku lama sekali. Seakan takut kehilangan aku.

“Mas, aku hamil.” ujarnya senang.

Seperti tersengat ribuan lebah, aku terpaku. Terkejut dengan kalimat yang baru saja diucapkan perempuan yang sedang memelukku ini. Andita hamil. Ini jelas kabar baik buat keluarga kecilku. Segelintir rasa gembira ikut hadir dalam benakku. Andita hamil. Artinya, sebentar lagi aku akan menjadi Ayah seutuhnya untuk calon bayi mungil yang belum bernama itu.

Namun segelintir rasa cemas juga turut hadir di pesta kecil itu.

Ingatan tentang seorang perempuan.

Riana. Perempuan berambut lurus kemerah-merahan. Perempuan yang gemar mengenakan kemeja longgar tiap kali aku datang. Perempuan yang selalu menungguku dalam flat nomor 56 di apartemen bergengsi di bilangan Jakarta. Perempuan yang selalu menungguku sejak dulu. Perempuan yang aku cintai. Sejak dulu. Jauh sebelum Andita hadir di hidupku. Perempuan beraroma cinnamon.

Malam, pukul sebelas waktu Indonesia bagian barat.

Hujan mengguyur Desember setiap malam. Hujan yang selalu dijadikan alas kaki untuk terhindar dari beling-beling. Hujan yang kerap dijadikan alasan demi dosa-dosa yang indah dan direncanakan.

Basah kuyup, tanpa payung, aku berlari menuju gedung apartemen Riana dari tempat parkir mobil. Derap langkahku bergetar, memasuki kotak bernamakan lift dan menekan nomor lantai tempat di mana Riana menungguku.
Setiap bunyi lift, tanda satu-satu lantai telah dilewati ialah bunyi lain dari kecemasan yag satu-satu ikut membuncah di dadaku. Kita semakin dekat dengan kesedihan, bisikku dalam hati.

Tokk..tokk..tok..

Kuketuk pintu flatnya tergesa-gesa. Tak ada jawaban. Kuketuk lagi untuk kedua kali. Tak lama pintu terbuka.
Perempuan berdiri dengan mata bundarnya yang kelihatan terkejut, sebab aku tak mengatakan akan datang. Kemudian dia tersenyum lebar, sambil bibirnya rewel karena tak bilang akan datang dan karena tubuhku yang kini kuyup kebasahan.

“Kamu kok nggak bilang mau ke sini. Mau bikin kejutan ya? Kebiasaan kamu mah bikin aku terkejut terus. Aduh…baju kamu basah banget. Aku ambilin bajumu di lemariku, ya?” katanya rewel. Aku hanya menatap punggungnya yang makin berlalu menuju kamar, megambil sepotong bajuku yang ia simpan di lemarinya. Untuk mengobati rindu, katanya.

“Tidak usah, Ri. Aku hanya sebentar.” kataku menghentikan langkahnya. Dia menoleh.

Lho, sebentar? Ada apa, mas?” tanyanya sambil kembali menghampiriku. Aku menarik napas panjang. Rasanya berat sekaligus sesak.

“Ri…aku bingung memulainya dari mana..” aku tak berani menatapnya yang duduk di sampingku dengan wajah bertanya.

“Ada apa, mas? Kabar buruk?” tanyanya menebak. Tangannya kini sibuk mengusap punggungku. Mencoba menenangkanku. Percuma, semakin ia membelaiku, semakin sedih aku mengatakan ini padanya.

Aku mengangguk. Sebagai jawaban, ya ini kabar buruk. Sekaligus gembira di lain sisi.

“Istriku hamil, Ri…” desahku pelan setelah jeda yang lumayan panjang. Hening. Tak ada yang keluar baik dari bibirku maupun bibir lembut Riana.

“Bukankah itu kabar baik?” tanyanya. Aku menoleh. Memberanikan diri menatap wajanya yang sedang tersenyum. Walau aku tahu di sana terselip kesedihan yang sangat kentara.

“Di satu sisi, memang kabar baik. Tapi, Ri..” aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku. Hening lagi. Kata-kataku menggantung bagai do’a yang tak pernah terjawab.
“Aku tak bisa meneruskan ini..” kataku akhirnya. Ucapan selamat tinggal yang buruk.

Riana melepas tangannya dari punggungku. Kemudian dia sibuk memandangi jari-jemarinya sendiri di pangkuan.
“Aku sudah tahu ini akan terjadi pada kita, mas..” ujarnya pelan. Kepalanya terus menunduk. Menahan tangis yang tak ingin ia tumpahkan, kurasa.

“Takdir memang tidak pernah menginginkan kita.” lanjutnya sedih. Aku masih menatapnya yang kini tenggelam dalam lamunan dan lipatan buku-buku di jarinya.

“Aku mencintaimu, Ri…” aku mengatakan lagi kalimat serupa berulang kali padanya.

“Aku tahu.” balasnya singkat. Masih menundukan kepala.

“Tetapi itu cukup. Aku tidak ingin mencintaimu lebih jauh lagi. Aku tidak ingin melukai kita semakin dalam.”

“Aku paham…” balasnya. Kali ini dengan suara tangis yang samar terdengar.

“Ri….” aku memanggilnya. Kita sama-sama hening dalam ramai di kepala kita masing-masing. Saling mengumpat, mengapa takdir harus setega ini memisahkan dua hati yang tak pernah bisa menyatu. Mengapa takdir harus membiarkan dua hati saling terluka dengan cintanya. Cinta yang katanya agung. Cinta yang katanya bisa membahagiakan hidup seseorang. Namun yang kurasakan, justru sebaliknya.

“Lepaskanlah aku selagi sanggup, mas. Sebelum cinta membuatmu lupa jalan pulang.” gumamnya pelan.

“Aku bukan rumah yang disediakan takdir untukmu, pulanglah. Lepaskanlah aku. Kita memang seharusnya tidak memulai ini.” lanjutnya lagi. Kudengar, tangisnya semakin kentara. Jelas. Bunyi kesedihan yang paling menyayat. Kutarik tubuhnya dalam dekapanku. Perempuan itu tak meronta sama sekali. Dia pasrah jatuh pada dadaku yang selalu lapang untuknya. Untuk tangisannya yang semakin pecah di hening malam ini. Suaranya serupa suara pecahan beling yang Andita lemparkan ke lantai ataupun ke tembok. Bunyi lain dari kesedihan dan amarah paling dalam.

Malam ini, tak ada lenguhan panjang, tak ada hasrat liar yang bergemuruh dalam dada, tak ada basah yang menyenangkan kecuali air mata kesedihan Riana di kemejaku. Malam ini, angin malam mampu menggigilkan kita yang berpeluk tanpa berpeluh, udara malam mampu membekukan hangat bara api yang dulu singgah di dadaku ketika kita berdua dalam satu ruang, dan suara burung hantu juga jangkrik terdengar lebih lantang dari biasanya. Malam ini, aku menghirup lagi aroma cinnamon lebih panjang, lebih dalam lagi, untuk diingat dalam jangka waktu yang lama. Sekali lagi.

Tak mungkin menyalahkan waktu
Tak mungkin menyalahkan keadaan
Kau datang di saat ku membutuhkanmu
Dari masalah hidupku bersamanya

Semakin ku menyayangimu
Semakin ku harus melepasmu dari hidupku
Tak ingin lukai hatimu lebih dari ini
Kita tak mungkin terus bersama

Suatu saat nanti kau kan dapatkan
Seorang yang kan damping hidupmu
Biarkan ini menjadi kenangan
Dua hati yang tak pernah menyatu

Maafkan aku
Yang membiarkanmu masuk ke dalam hidupku ini
Maafkan aku
Yang harus melepasmu walau ku tak ingin

Semakin terasa cintamu
Semakin ku harus melepasmu dari hidupku

I will let you go
I will let you go

I will let you go…


Kesalahan Yang Tak Seharusnya

Saya tahu ini salah, tapi bagaimana? Memang siapa yang bisa mengontrol hati manusia kecuali Tuhan? Bahkan kita pun, sejujurnya tidak dapat mengontrol hati kita sendiri. Oke, oke, saya di sini bukan untuk ceramah, apa lagi mengeluh, saya hanya heran pada diri saya sendiri. Mengapa semua ini saya lakukan, padahal saya tahu ini salah? Nah, itu adalah pertanyaan personal kepada dalam nurani saya. Ah, apakah kesederhanaan cinta bisa merumitkan hidup? Atau kesederhanaan hidup adalah kerumitan itu sendiri? Sudahlah, bila sedang kacau begini, saya sulit berpikir jernih.

“Jadi, bagaimana?” tanyanya bingung sambil memainkan lengan kemeja saya.

“Entahlah, Ra.” saya menggelengkan kepala, pening.

“Memang kamu rela?” tanyanya lagi, kali ini ia memeluk lengan saya.

“Kamu tidak perlu bertanya jawabannya. Kamu sudah tahu.” jawab saya kalem.

“Mana mungkin aku tahu kalau kamu nggak kasih tahu, memangnya aku paranormal?!” sungutnya. Saya mengusap kepalanya pelan. Perempuan ini begitu lucu bila sedang marah atau ngedumel seperti sekarang ini.

Saya diam sejenak. Menarik napas dalam-dalam. Sungguh pelik, dan juga rumit. Saya tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Saya tidak pernah mengharapkan ini. Perpisahan. Tidak ada yang mengharapkan perpisahan, kecuali mempersiapkan. Sedikit-banyak orang barangkali pernah mempersiapkan perpisahan untuk suatu hubungan yang bersifat sementara atau hubungan berisiko, tapi bodohnya, saya tidak melakukannya. Saya belum siap, padahal tahu kalau hal ini akan terjadi nanti sewaktu-waktu. Dan inilah waktunya.

“Ra, maaf.” kata saya. Dia sedang rebah di bahu saya, saya tahu berat untuk perempuan ini mengatakan hal yang sejujurnya. Tapi apa daya? Saya tahu dia kebingungan, saya tahu dia tidak bermaksud melukai saya.

“Bukan kamu mas yang harus minta maaf. Tapi aku,” dia kembali mendekap erat lengan saya, mungkin untuk kali terakhir.

Saya tersenyum. Bagaimana pun tempat saya bukan di sini. Saya tak seharusnya lancang mengetuk pintu hatinya, dan seharusnya, dia juga tidak membukakannya untuk saya.

“Semuanya sudah terlanjur, Ra. Bagaimana lagi? Kamu sudah memilih, kan?” tanya saya, kini dia yang mengangguk pasrah pada lengan saya.

“Maaf, mas.” katanya pelan.

“Maaf tidak bisa mengubah segalanya yang tlah terjadi, Ra.” saya tersenyum.

“Aku tau.”

“Aku pikir..-” katanya pelan. “Siapa pun itu yang menciptakan kata ‘maaf’ sungguh sia-sia.” guraunya pedas.

Saya kembali tersenyum mendengarnya. Saya tahu dia tidak rela, sama seperti saya, jadi saya memakluminya.

“Tidak ada yang sia-sia, Ra.” saya mengusap rambutnya yang hitam, panjang, dan bergelombang. Harum apel menguar dari sana serupa melati yang sedang mekar. Saya selalu suka mengusap rambutnya seperti seorang ayah kepada anak perempuannya. Amira begitu kekanak-kanakan, tapi terkadang kedewasaannya melampaui saya yang tiga tahun lebih tua darinya. Saya menikmati udara di depan saya; aroma apel dan harum lavender yang menguar dari tubuhnya. Mungkin, aroma yang sedang saya hirup kali ini adalah aroma surga terakhir yang saya bisa nikmati. Aroma Amira. Ah, begitu saya tidak menginginkannya pergi. Begitu saya menginginkannya tidak memilih apa-apa selain saya.

“Kamu pasti tau kenapa aku jatuh cinta padamu kan, mas?” tanyanya berdesis, mirip bisikan ular.

Saya menggeleng. Saya tidak tahu. Dia tidak pernah memberikan alasan mengapa dia jatuh cinta pada saya dan menerima saya masuk ke dalam hidupnya. Yang saya herankan, mengapa dia menanyakan hal seperti ini di saat semua sudah hampir selesai.

“Kamu mempunyai apa yang dia tidak punya.” dia menjawabnya sendiri.

“Begitu kah? Tapi sayangnya, hal itu tidak membuat kamu memilih aku, kan?” saya menggoda. Oke, mungkin saya kelewat denial, bisa-bisanya menggoda dia lagi setelah apa yang dia katakan.

Amira terdiam. Dia tertunduk pada di lengan saya. Tangannya masih erat memelukinya. Hidungnya menempel pada lengan kemeja saya. Mungkin, dia sedang mengambil aroma saya untuk diingat kembali nanti, atau dibayangkan kembali ketika dia sedang memeluk kekasihnya yang sebenarnya. Ya, kekasih Amira yang sebenarnya. Dan bukan saya orangnya.

“Kamu nggak seharusnya datang ke hidup aku, mas.” perempuan itu terisak. Saya mendengar suara tangisnya yang selirih puisi patah hati.

“Kamu seharusnya nggak buat aku terpukau!” kini dia menghajar lengan kemeja saya dengan air matanya yang berderai.

Salah. Seharusnya kamu tidak perlu datang ke pentas malam puisi di kedai itu bersama kekasihmu. Seharusnya kamu bermalam minggu di tempat lain. Seharusnya saat itu saya tidak membawakan ‘Kepada Hawa’-nya Aan Mansyur. Seharusnya kamu tidak mendengar suara saya. Seharusnya kita tidak usah bertemu di kedai yang sama malam itu. Seharusnya saat itu kamu tidak sendiri dan terlihat sedih di kedai itu. Seharusnya saya diam saja di tempat saya dan tidak usah menghampirimu. Seharusnya saya tidak menanyakan nomormu. Seharusnya saya tidak mendengarmu bercerita tentang dia-mu. Seharusnya kamu tidak mendengar saya bercerita tentang hidup saya. Seharusnya kita tidak usah bertemu sama sekali. Di mana pun, kapan pun. Seharusnya tidak ada kita.

Banyak kata seharusnya menggerayangi isi kepala saya, tetapi saya tahu, kata seharusnya atau seandainya sama saja seperti kata maaf. Sia-sia. Oke, tidak ada yang sia-sia, tapi kalau memang tidak ada gunanya apa lagi bila bukan sia-sia namanya? Entahlah, lagi-lagi saya bilang, sulit mencerna akal sehat bila hati sedang runyam.

“Oke, begini, Amira, bila kamu sudah memilih dia, lupakan aku. Oke? Ini kan resiko dari hubungan kita. Kamu harus memilih salah satu.” kata saya mencoba tenang. Saya rasakan, kepalanya menggeleng di pelukan saya.

“Kamu nyuruh aku lupain kamu, mas?” dia bangkit. Rambutnya jatuh berantakan. Air mata membuat beberapa anak rambutnya menempel di wajahnya.

“Habis gimana? Kita nggak bisa nerusin ini, kamu yang bilang kan?” saya hampir emosi. Bukan, bukan pada Amira, tapi pada diri saya sendiri. Baru kali ini saya melihat Amira menangis karena saya.

“Kamu emang nggak pernah serius sama aku, mas. Pergi dari kamu aja belum tentu aku bisa, terus kamu suruh aku lupain kamu?!” suaranya meninggi. Saya memejamkan mata. Sulit melihat matanya manakala dia menangis.

“Begini Ra, dia sudah melamar kamu, dan kamu juga sudah menerimanya, kan? Dia kekasihmu yang sesungguhnya, Ra. Bukan aku, oke?” Damn! I hate myself for screaming at her. Saya tidak pernah berpikir untuk membentaknya, tapi kali ini saya melakukannya.

Dia tercenung. Kaget oleh kata-kata saya barusan. Oleh perkataan saya. Saya sendiri juga kaget, betapa saya tega membentaknya hanya karena saya sedang marah kepada diri saya sendiri. Saya marah karena seharusnya saya tidak memulai semuanya. Dan kini saya bertambah marah oleh sebab yang lain lagi; saya tlah melukainya.

“Harusnya aku udah tau dari awal. Kamu emang nggak pernah serius sama aku. Terima kasih, mas, ternyata perjuangan kamu hanya sampai sini. Aku pergi.” Amira beranjak dengan tas merah jambu yang tersampir di bahunya. Dia pergi setelah menghapus air matanya dengan tangannya sendiri. Dia pergi, dengan amarah.

Kini, kata seharusnya berceloteh lagi dalam kepala,

Seharusnya, saya yang menghapus air mata terakhir itu.

Seharusnya, saya tidak membiarkannya pergi dengan amarah.

Seharusnya, saya tidak membiarkannya pergi.

Aku tau dia yang bisa
Menjadi seperti yang engkau pinta
Namun selama napas berembus
Aku kan mencoba
Menjadi seperti yang kau minta


Amira, aku sudah bisa menjadi apa yang kau minta;
Membiarkanmu bahagia, dengan pilihanmu yang bukan aku.

Rabu, 17 Agustus 2016

Buku Cerita Di Kepalamu

di kepalamu ada buku cerita,
bibirmu ialah suara ibu yang mendongengiku kisah-kisah pengantar tidur,
jangan tebak siapa aku, sayang,
aku pastilah anak kecil yang menikmatimu sembari menelan susu cokelat hangat.

di kepalamu ada buku cerita,
bermacam-macam kisah ada di sana, seolah kepalamu bukan hanya satu buku,
tetapi perpustakaan.
kalau begitu sayang, biarlah cita-citaku menjadi pustakawan,
yang kan menikmatimu sepanjang hayat.

aku tiada keberatan menikmati susu cokelat hangat yang cangkirnya setiap malam kupeluk mesra,
seolah hangat pelukmu yang tak pernah mampir sekalipun,
aku pun tiada keberatan hidup bersama buku-buku sepanjang hayat,
seperti aku tidak akan pernah keberatan hidup bersamamu, sepanjang hayat.

maka, biarkanlah cerita-cerita menyusun mantra-mantra pemikat aku,
perempuan yang mencintai kisah-kisah
yang kaututurkan, yang kautuliskan.

biarlah buku cerita itu berada di kepalamu, serupa lampu yang berpijar di rumah-rumah kala malam,
biarlah bibirmu menjadi ibu, yang melelapkanku dalam tenang tak berkesudahan, percakapan-percakapan serupa bunyi-bunyi harpa atau biola meninabobokan kepalaku,

biarlah aku menjadi anak kecil, atau pustakawan,
yang menikmati rasanya, mencintaimu, dan buku-buku cerita di kepalamu.

- Wid
Jakarta, 17 Agustus 2016

Minggu, 14 Agustus 2016

Untuk Perempuan Yang Sedang Dalam Pelukan, Aku Iri

di malam hari, yang ada sedikit bintang
aku menemukan diriku penuh oleh rasa kabung
dalam dadaku, merasuk segala ingatan tentang kau
segala ingatan tentang kau yang kutahu

tapi bukan denganku, pejammu berlabuh,
bukan denganku aromamu kaubagi,
bukan denganku hangat tanganmu bersentuh,
bukan denganku hadirmu.

perempuan itu dalam dekapmu,
sehangat selimut beruang menghangatkan tubuhku,
sehangat mentari dalam rengkuhan langit pagi yang biru,
sehangat itu dia dalam pelukmu.

gigil aku menanti suhu hangat tangan itu menyentuhku,
tapi tiada.
tatkala malam datang, kau pergi.
serupa lembayung senja yang tatkala malam datang, dia pergi.

menunggu pagi tak pernah semenyiksa ini,
menunggu pagi tak pernah sesukar ini,
sebelum kau menjelma sebuah kota di kepalaku,
menunggu pagi adalah buang-buang waktu yang berarti.

kini tiada lagi waktu kemarin
genggammu bukan milikku
perempuan yang sedang dalam pelukanmu itu, dia yang miliki genggammu.
genggam yang sehangat tenang daripada semilir angin,
genggam yang takkan pernah dijual di kedai kopi atau toko buku.

Genggam yang kuingin.

lirik lagu ini bukan tentang kau dan perempuanmu,
hanya saja judulnya seperih kelihatannya.

Untuk Perempuan Yang Sedang Dalam Pelukan, Aku Iri.

-Wid

Dalam Puisi


kau,
ialah kata yang kini selalu ada
pada rahim waktu dan kepala,
ada kita yang tak pernah nyata

dalam puisi,
mengingatmu tak kenal kata sudah
rindu ialah tumpukan rasa dalam tubuh
lalu sepi akan abadi sendiri

dalam puisi,
matamu dapat menjelma bulan purnama
bibirmu ialah botol anggur yang terbuka
dan kepalamu seperti ombak laut nan ramai

dalam puisi,
kucintai kau dalam-dalam
tak peduli bila kau melukaiku dalam-dalam
ialah aku yang tak keberatan untuk mati

pada kedalaman puisi,
waktu, sepi, dan kata hati
ialah hal yang bisa menghidupi
hati siapa saja yang tlah mati

dalam puisi,
biarkanlah aku memulai mencintaimu tanpa tetapi

Aku hanya seorang gadis yang mencoba menggaris senyum di bibir
mencoba sok-tahu menulis tentang jatuh cinta
padahal, hatinya sedang jatuh luka

-Wid
Jakarta, 12 Agustus 2016

Kota Yang Akan hilang

Koran pagi yang kubaca hari ini seperti menghisapku ke halaman-halaman lalu
Menghirup cuaca yang betapa jauh higga sampai ke kota yang tak pernah kukunjungi barang sekejap
Kota yang dingin dan rumah singgah yang hangat
Kau tak perlu tungku perapian atau pengatur suhu

Aku terpejam dan membayangkan diriku jadi rumah di sebuah kota yang jauh dan ding in
Di sebuah kota yang hanya punya warna pasi langit dan cuaca mendung

Lalu kau datang dari gigilnya mimpi kehausan, kelaparan dan hampir mati
Kau menampung seluruh hawa kota dan memendamkannya ke dalam tubuhmu yang hampa

Kau mengetuk pintu
Dan mendadak luruh seluruh kota yang kau bangun di jantungmu

Peristiwa dan musim cepat berlalu
Ladang sawah dan hutan lenyap dari pandangan
Berganti kuku-kuku yang mencakar langit
Dan aku ?
Aku hanya kenang yang nanti runtuh

-wid
Jakarta, 9 Agustus 2016

Senin, 25 Juli 2016

Tentang Kita

Dalam lamunan aku terisak sepi
Berjejalan di dalam sini bagaimana cerita kita bermula
Cerita yang seringkali kaulupa perihal mengapa kisah ini ada
Seringkali kaulupa jumlah tawa juga angka tangisan kita

Ketika rajutan kata perpisahan itu selesai
Kau rangkai, selimutilah aku dengan itu
Sebab hangat merupa air mata di balik untaian kata
Serangkaian ucapan selamat tinggal yang haru

Berikutnya, kisah ini menjelma raga-raga yang tak nyata
Waktu-waktu yang berjalan mundur ke belakang
Barangkali sebagai pengingat, bahwa pernah ada kita
Walau hanya di batas garis temu-dan-pisah, tinggal-dan-pergi

Semua tentang kita barangkali kini tlah terbaring
Di suatu tanah merah yang lapang menyimpan kenang
Mengubur suara tawa yang disirami air mata kepedihan
Menisankan huruf-huruf yang membentuk nama masa lalu

Kau petik gitarmu tuk terakhir kali
Aku mengingatnya sebagai melodi patah hati
Di mana kau lantunkan kegetiran juga sunyi yang melatari
Di mana ucapan selamat tinggal terdengar lebih suci

Dalam lamunan aku terisak sepi
Berjejalan di dalam sini bagaimana kita memaknai hadir-dan-pergi
Hal yang seringkali kita lupa bahwa yang hidup pasti akan mati
Dan kisah kita, katamu, hanya sampai di sini

( DW, Jakarta 25 Juli 2016 )

Rabu, 20 Juli 2016

Rindu dini hari

Kini, aku menjelma sesuatu yang lucu
Ingatlah lagi, bukankah aku yang memintamu melupakan aku?
Aku yang memaksamu menjauh dariku

Kasih, kini sajakku riuh
Karena rindu yang semakin keruh
Aku hanya ingin lupa, sayang
Hanya saja aku lupa bagaimana caranya untuk lupa

Lihatlah sepagi ini aku merindukanmu
Kali ini, aku terdiam mengeja setiap aksara dilembar kenangan
Memastikan di deretan abjad yang kutuliskan, tak ada lagi luka yang tersimpan

- Wid
Jakarta, 21 Juli 2016

"Kita pernah berada pada satu ruang. Tertawa bersama. Tak peduli pada tatapan orang.
Kini kita ada pada ruangan berbeda dengan tawa yang tak lagi sama"

Kamis, 07 Juli 2016

Semestaku Semestamu

kukemas semua barang-barangku yang tertinggal di kepalamu.
kubersihkan segala sisa aromaku di indera penciumanmu.
kukarungkan sisa peluh, dan hangat tubuhku yang pernah menempel di tubuhmu
kuambil kembali satu-per-satu jiwaku di dadamu.

bersiap menyusun kembali tubuhku sendiri. raga dan jiwaku.
lalu pergi dari semestamu.
kau yang memintaku begitu kan?

buntalan berisi kenangan kita tlah kupikul sendiri di bahu kiri.
kau hanya menatap punggungku yang pergi

kemudian masuk kembali tanpa memanggilku untuk memintaku kembali ke semestamu.

kau teralu sibuk dan tengah bersiap merapikan semesta mu tuk kedatangan perempuanmu yang baru.

kau menyingkirkan sisa-sisa aku di semestamu.

aku masih melangkahkan kakiku sempoyongan,
agar menjauh pergi darimu

tubuhmu
kepalamu
aromamu
kenangan kita
segalanya aku bawa,

kupikul di bahu kiri
membawa serta kita yang tiada lagi

kini hanya ada aku yang sedang menyusun kembali semestaku sendiri
semesta yang kini hanya berisi huruf-huruf puitis tentang kita yang mati

tanpa ragamu.

selamat datang, di semestaku.
berisi puisi picisan, tentang kau.

tentang kita.
yang kini hanya tinggal kata-kata.

Jakarta, 28 April 2016

Sabtu, 02 Juli 2016

Hujan yang Turun dari Kepalaku

sebuah dunia pernah tinggal di kepalaku, bibirnya seperti organ baru dalam tubuhku. dunia itu menurunkan musim, yang menentukan cuaca apa yang sedang digenggam oleh dadaku. seperti sebuah pesta semesta dalam tubuh perempuan. serangga-serangga membuat tarian, menjalari lambungku hingga aku bergidik geli. hawa matahari pagi pindah ke dalamku. dunia seakan-akan sedang mempermainkan opera di dalam seorang perempuan. gigil pagi seperti dingin yang pernah kurasakan lewat tenggorokanku ketika cairan kopi yang sudah lama terseduh menjalari lorong gelap dalam tubuhku. mereka bilang aku terjatuh, tapi kakiku tak menjejaki tanah. ada yang janggal ketika mereka melanjutkan kata-katanya dengan cinta. aku, jatuh cinta, katanya. benar? bila benar aku terjatuh, aku lebih merasa bila tubuhku sedang jatuh di langit.

aku hanya seperti tubuh yang diisi oleh kembang api. bisa meledak kapan saja tanpa meruntuhkan dunia yang tinggal dalam diriku. tapi dunia pasti terus berputar seperti roda yang dipasang di belakang bokong kuda. tiba-tiba saja dunia dalam diriku lepas dari porosnya, menggelinding entah kemana. aku bingung, dan hendak bertanya kepada langit yang berada di atas kepalaku, atau di bawah kakiku, benarkah dunia berputar? mengapa ia hilang? mereka bilang, aku hanya sedang patah. bagaimana bisa? tubuhku tidak terbagi dua, hanya saja seperti ada lubang yang mulai hinggap di dadaku, seperti tahi burung yang tiba-tiba jatuh di atas kepalamu ketika sedang berada di bawah rindangnya pohon. lubang itu, mengeluarkan air. semburan airnya membanjiri tubuhku hampir sedadaku. dadaku bisa mati tenggelam, sebab ia tak pandai berenang.

kepalaku seperti menjelma langit yang mendung. awan-awan berarak-arakan menuju mataku, dan petir menggelegar dari dalam telingaku. apa yang dititipkan hidup kepadaku kali ini? sebuah langit? namun aku mendengar suara hujan dari dalam dadaku. rintiknya halus bagai butiran garam di dapur ibu. ini sebuah musim, pikirku. kini aku hampir menyelesaikan sebuah teka-teki yang menyusun tubuhku dengan pertanyaan. kiranya begini, sebuah dunia, yang kemarin berada di dalam diriku, kini sudah runtuh. lepas dari porosnya, entah menggelinding ke mana, berputar ke mana. tapi musim di dadaku tak pernah meninggalkanku. sebuah dunia itu, telah meninggalkan musim hujan di dadaku, dan langit mendung, di kepalaku.

Depok, 28 Agustus 2015

Langit yang Tak Pernah Terjangkau

waktu berlarian kemudian bercakap-cakap dengan kesepian
lalu kau berada di sana sebagai kabut yang tipis
ada tetapi tak terlihat mata
kau lah yang mereka percakapkan

kau adalah rahasia yang tak dimiliki sepasang mataku
bahasa yang diam seperti keheningan yang sering kau lalui
senyumanmu, kau tahu, ialah dosa-dosa yang kusembunyikan
dalam diriku, kau adalah langit yang tak terjangkau jemariku

tubuh-tubuhmu seperti senja di puncak munara
dan aku pendaki yang kelelahan menanjak
takut maut tiba-tiba datang menawarkan jalan yang lain
yang lebih lengang tenang tanpa terjal

bibirmu merah muda selembut warna langit saat fajar tiba
dan aku adalah manusia yang sering bangun kesiangan
melewatimu sambil merutuki diri sendiri
dan menikmati kopi yang tak semanis lengkung sabitmu

kau adalah buku puisi yang ada di rak-rak toko buku
membacamu sepintas takkan pernah membuatku merasa cukup
memindahkanmu seluruhnya ke dalam kepalaku, ingatanku, dan ruang tidurku,
aku tidak mampu

seandainya aku memiliki cukup keberanian
aku ingin meminta menjadi seekor kupu-kupu
yang bisa mengepakkan sayap kepadamu;
langit yang tak pernah mampu terjangkau jemariku

seandainya aku memiliki cukup nyali
aku ingin menjadi pendaki yang sampai di puncak
menatap keindahanmu banyak-banyak
dan bangun lebih pagi, demi sabit di bibirmu

dan waktu masih bercakap-cakap dengan kesepian
lalu aku, masih seseorang yang memandangi langit yang tak pernah terjangkau jemariku.

—END

Jakarta, 25 Juni 2016

Menonton Puisi Berbicara

lampu berkelipan di matamu,
ia bercakap-cakap dengan kesepianmu
yang tak pernah terlihat siapa pun kecuali aku
dan kau tak pernah mengakui, duka seperti apa yang tinggal dalam dadamu.

bibirmu berceloteh seakan-akan ingkar pada kesedihanmu
kakimu menjejak tegas pada tubuh panggung yang kau injak-injak
sandiwara dan topeng tidak pernah lepas dari tubuh dan wajahmu
tapi di sana bukan berupa dusta. kau hanya mengingkari dirimu sendiri.

cermin itu retak ketika kau berkaca.
ia marah, tak lagi mengenali wajahmu yang kini asing.
tapi kau bisa berkaca di mataku,
satu-satunya tempat kau bisa menjelma siapa saja.

kau masih berbicara ketika tubuhku sudah hampir tenggelam
dalam buai suaramu yang laut. suara yang tak pernah terekam dalam ponsel atau kenangan.
kau masih di sana, di atas panggung sambil menggenggam pesonamu
ketika aku duduk di kursi penonton. mencari-cari yang hilang di matamu;

aku.

kesedihan dan kesepian itu.

yang kauingkari. berkali-kali.

Jakarta, 20 Juni 2016

Sepi yang Bermukim di Matamu

hening berjatuhan dari bibirmu
seolah hujan sedang mendiami suatu kota
untuk kemudian pergi
dan meninggalkan jejak-jejak kenangan

bunga yang bermekaran di dadamu itu
bukan mawar, ataupun melati
di sana tumbuh kembang perasaan
yang kaupetik bukan untukku

tangan kurusmu yang seperti batang bambu
sebab keteduhan berasal dari sana
sedang menjulur kepada seorang wanita
yang menawarimu sekuntum luka; sebagai imbalan atas kembang yang kaupetik untuknya

seperti puisi yang ditukar kesedihan
sekuntum kembangmu layu disiram matahari musim kemarau
kian lama, kian meranggas satu-satu
lalu mati kering sukarela di tanah pecah-pecah

jari-jarimu kemudian seperti seorang ibu
yang melahirkan puisi-puisi patah hati
matamu kemudian seperti tanah lapang;
kosong, tak menyisakan apa-apa kecuali sepi

lalu sepi bermukim di matamu
ibarat sebuah kota dihuni seorang saja
yang merayakan hidup sendirian
yang menangisi kesedihannya sebatang kara

dan aku masih seperti sedia kala
sebelum sepi menghuni matamu
menjadi seekor kupu-kupu
yang tinggal dalam dadamu

menanti kembang itu mekar
sekali lagi.

—END

Depok, 16 Agustus 2015

Berlayar di Keheningan Malam

angin memetik bintang di matamu,
kerlip-kerlipnya mencintaiku
sepasang bintang berkecipak di langit malam
aku nelayan yang disesatkan laut gelap hamparan hitam

kabut-kabut tipis beterbangan
berusaha mencapai ketinggian langit
mirip seperti harapan, yang mencoba mengejar
doa-doa yang kauhembus ke udara

aroma-aroma yang kuhirup ini,
ialah sisa-sisa hujan bulan november
begitu hening, begitu sepi, begitu sedih
air mata yang diteteskan ke tubuhmu yang tanah

aku tenang.

kau tak begitu tahu aku,
dalam gelap, cemasku terlelap
diganti suara-suara senyap yang memanggil kenanganmu
dan aku akan memagut bulan

dengan mesranya.

ingin kuhirup wangi udara di tubuhmu,
atau aroma yang dimiliki bulan,
apakah mawar, atau bau belantara hutan hujan
biar, biar aku mendayung lebih jauh lagi

ingin kugetarkan langit, kubelah
dengan lidahku
aku hanya ingin merasai bulan
menyedot heningnya malam, ke dalam tubuhku

segalanya. semuanya.

ketika kau membaca ini, kasih,
aku sedang berlayar di keheningan malam,
merindu,
bulan.

—END—

Depok, 01 Agustus 2015

p.s :

dan jika tanya terbit di kepalamu : mengapa kata bulan selalu direpetisi?
karena…

“hanya ada bulan di sajakku, sebab ketika aku memikirkanmu, kata-kata yang lain meninggalkanku.”

Jumat, 24 Juni 2016

Memuisikan Lembar-lembar Yang Tak Selesai

Berbaris-baris puisi menjemukan ingatanku
tentang menunggu, perpisahan, dan kesedihan.
Apakah puisi selalu perihal kesedihan?
Apakah puisi selalu perihal kursi-kursi yang kosong di kedai kopi favoritmu?
Apakah aku serupa salah satu kursi di kedai itu yang merindui hangat rasanya didekap?
Yang telinga-telinganya lapar akan percakapan sepasang kekasih yang mendiskusikan politik atau hal-hal remeh-temeh.

Setelah hari, dan jam itu,
Kepalaku sibuk membacakan satu-satu puisi kesedihan
Air di mataku menolak kering saat duka menawarinya senyum
Sayang, puisi bukan bedak pelipur lara. Puisi juga bukan badut-badut yang sering menari di pertigaan jalan itu.
Demi membuat mereka, yang lelah seharian suntuk mengingat tenggat waktu, tersenyum walaupun hanya sepotongan kuku.

Setelah hari, dan jam itu,
Malam menjadi isyarat kesedihan bagi siapa saja yang nasibnya sama dengan perempuan yang mencintai yang tidak,
Bulan bahkan hanya menjadi bualan malam paling memuakkan sesemesta raya.
Aih, aduhai, senyummu sebersinar bulan.
Tidakkah bulan mual mendengar kata-kata bualan itu? Ia, sambil berbisik akan berkata, “aku tidak sebercahaya seperti bualanmu. berhentilah menaruh namaku sebagai bualan!”

Seandainya kepalaku punya tubuh; mata, hidung, bibir, telinga, tangan, kaki, rambut-rambut,
ia akan menjelma sebagai penyair, atau pemabuk
yang menukar malam dengan kesedihan-kesedihannya.
Barangkali baginya, malam ialah puisi-puisi yang tak selesai,
karena tak ada hitam yang cukup panjang untuknya mengeja duka-duka.

Bulan, bintang, dan kabut-kabut tipis itu ia bayangkan sambil menguar sungai di sudut-sudut matanya;
Bulan itu matamu yang terang benderang, membuat siapa saja jatuh cinta. Padahal, ia sendiri benci cahaya.
Bintang itu mengerjap-ngerjapkan sinar genit, seolah ia tahu kecantikannya bisa melumpuhkan siapa saja.
Dan kabut-kabut tipis itu serupa pertanyaan-pertanyaan yang beranak-pinak di dusun seorang dukun kampung.
Ah, malam dan hari itu ialah puisi yang tak selesai.

Serupa lembar-lembar kisah kita,
yang dibiarkan tuhan bersarang di lemari bukunya
ketika ia sedang malas menulis cerita tentang malam, atau kursi-kursi kosong di kedai favoritmu.
lembar-lembar itu menumpuk di pojok yang luput dari ingatannya,
sebagai puisi-puisi yang tak selesai.

Entah, sampai kapan.

Jakarta, 23 Juni 2016

Aku Ingin Menjadi Sajak yang Kausukai

Teruntuk kamu

Aku ingin menjadi sajak yang kausukai
Di antara huruf-huruf yang berbaris di kepalamu
Di antara sepi yang berguguran satu-satu di ujung sunyi kamarmu
Di antara angin yang berdesir dalam bingkai jendela hati

Aku ingin menjadi sajak yang kausukai
Kalimat-kalimat yang kauhapal di luar kepala
Kalimat-kalimat yang kaurapal di penghujung malam
Kalimat-kalimat berisi doa yang berjejal di anganmu

Aku ingin menjadi sajak yang kausukai
Sajak yang mengundang senyum di bibirmu
Sajak yang menggetarkan seluruh tubuhmu
Sajak yang membuatmu, mengingatku

- Wid
Jakarta dini hari, 25 Januari 2016

Jumat, 10 Juni 2016

Beda

Kini kita sepakat membisu adalah hal indah
Aku melihatmu bersembunyi
Sendiri disela-sela sepi
Seperti mencoba berlari
Menjauhi diriku
Dan pergi, akankah?

Baiklah mungkin cinta tidak hadir hari ini
Pergi meninggalkan aku dan kamu
Aku pun akan menyepikan aku
Yang tidak bisa kamu jumpai di malam atau senja
Seperti dingin yang tak kumengerti
Hilangku pun demikian

Mungkin dilain hari
Mungkin bertemu lagi
Tapi, tidak hari ini

-wid
Jakarta, 10 Juni 2016

Semesta sore itu

Semesta bicara tanpa bersuara
Semesta ia kadang buta aksara
Sepi itu indah, percayalah
Membisu itu anugerah.

Jumat, 03 Juni 2016

Bicara Makna

Kata-kata hanyalah media
Namun hati kita tidak butuh perantara
Karena Ia mampu menyerap segala bahasa menjadi tiada.

Jakarta, 2 Juni 2016
Teruntuk sore tadi

Minggu, 22 Mei 2016

Bukan Puisi

Ini bukan puisi, sayang. Tetapi bila kau lebih lihai membaca buku, maka rupa-rupa di dalam dada saya adalah buku puisi yang paling kausukai. Ambil gitarmu, dan bernyanyilah tentang tubuhku. Kubiarkan dirimu menjelma kepala nahkoda kapal. Buang petamu, kau tak butuh itu untuk menaklukan samuderamu, tertanda aku.

Ini bukan kopi, sayang. Tetapi bila kau lebih menyukai kopi tanpa gula, maka rupa-rupa luka di tubuhku barangkali mampu membuatmu lupa terlelap. Seduh kopimu, dan biarkan aku melayang-layang di udara sebagai kepulan asap yang menari. Temui aku di setiap pagimu, baik yang baik maupun buruk. Bawa aku ke dalam kamarmu. Rebahkanku di sisimu, di samping kiri ranjangmu. Kecup aku sekali lagi. Teguk sampai kau merasa bahwa hari ini akan berjalan semestinya. Seolah lelahmu mati pada ciumanmu yang kali pertama kepadaku. Kutuklah dunia di sekitarmu sambil perlahan menikmati aku yang masih tenggelam di dasar cangkir kopi pagimu.

Ini bukan jendela, sayang. Tetapi bila kau lebih menyukai jendela yang luas di lantai paling atas, maka jadikan aku sebagai tempat kau melihat seluruh dunia. Menjelajahi kota masa kecilmu. Menjerajahi petualangan. Kau akan melihat gunung menjulang tinggi, sungai yang mengalir sejernih airmata bayi, dan hutan belantara yang membuat kita tersesat. Kau juga akan menemukan hangat pelukan ibumu, atau ayahmu, atau kekasih masa lalu yang kau rindukan. Di sini, padaku, kau akan melihat matahari datang dan pergi. Kau akan menyaksikan bagaimana komposisi waktu menciptakan dan melenyapkan senja kesukaanmu. Ingat-ingat…kisah siapa yang ikut dilenyapi?

Ini bukan rumah, sayang. Tetapi bila kau merindukan kampung halamanmu, datanglah kemari. Lepas penat, dan topeng yang kaukenakan seumur hidupmu. Di sini, padaku kau bisa telanjang bulat untuk benar-benar dicintai. Lupakanlah kopi yang melukai rinai lembut air di matamu. Pura-pura tenggelam dalam pahit, mematikan nalarmu untuk merasa manis, sayangku. Di sini, padaku kau tak perlu puisi, kopi, atau sebuah jendela untuk melihat dunia. Kau hanya perlu lihat ke dalam ke dalam mataku. Dan segala yang kau cari berada di sana...

Jakarta, 22 Mei

Kamis, 12 Mei 2016

Hanya Ingin Sepi

Terkadangan tak ada salahnya merayakan sepi dibalik meriahnya dunia
Setiap jiwa butuh menyepi dari keramaian
Menikmati dunia tanpa suara selain suara nafasnya sendiri
Menonton bayangan yang menghantui bersama mimpi buruk
Mencicipi getir hidup meski besok tak tahu apalagi kejutan yang datang mengetuk

Setiap orang mempunyai sisi gelap yang disimpan baik-baik dalam rupa yang tak tampak
Tak semua orang perlu tahu
Karena bersama gelap, rasa aman tersimpan baik tanpa gangguan

Sunyi, senyap, dan sepi
Perihal kotak kosong dalam hidup manusia
Merasa terasing pada pijakan sendiri
Bertahan tanpa insang di bawah samudera

Jangan pernah tanyakan, kenapa senyumku sering kupalsukan. Karena luka, telah melatihnya demikian.

Jakarta, 12 Mei



Rabu, 11 Mei 2016

Adalah Saya

Saya sering berjalan memutar menemui kesendirian. Bukan karena kesepian, tapi terkadang membutuhkan waktu untuk berkencan dengan diri sendiri yang sering terabaikan. Dalam sendiri, saya dan diri ini terasa lebih dekat. Tak ada topeng yang selama ini saya kenakan ketika berada di sekeliling orang-orang. Dalam sendiri hanya ada kejujuran. Menelanjangi bisu yang gaungnya lantang dalam hati dan pikiran.

Saya paling malas ketika ditanya soal cita-cita dan masa depan. Maka dari itu, biasanya saya tidak pernah menjawabnya. Tapi, hampir satu bulan ini saya hampir gila memikirkan masa depan. "Mau jadi apa?", "Apa iya aku berguna?", "Aku bisa apa memangnya?", dan masih banyak lagi, khawatir terlalu banyak nanti jadi buku.

Begitulah kira-kira yang menghantui kepala saya selama sebulan ini. Soal cinta hanya bagian kecil saja. Bahkan tak sampai 20%. Semua itu bikin kepala saya menjadi paling sumpek sedunia. Mulut saya jadi yang paling cerewet sedunia. Saya merasa jadi orang yang paling bodoh karena melakukan apa saja tak bisa. Soal passion. Ah! Itu apalagi. Saya bahkan tak tahu apa yang saya sukai. Tapi akhirnya saya sadar, sebenarnya yang saya jalani adalah proses, dimana saya akan menemukan siapa sebenarnya diri saya. Lucu memang, bahkan saya tidak mengenali diri saya sendiri. Bayangkan!

Saya mencari jati diri, dengan melakukan ini dan itu, dengan mempelajari ini dan itu. Banyak salahnya memang. Apalagi ketika buku-buku motivasi sudah jadi basi buat saya saat ini. Saya mencari jati diri di tumpukan buku-buku sastra. Buku-buku Agama. Ada titik cerah disana. Dimana saya tahu harus bagaimana, harus melakukan apa, untuk menjadi apa. Kini kepala saya sudah mulai kosong. Dan akan saya isi dengan hal-hal yang saya sukai. Mulut dan jari saya sudah bisu, akan berusaha berbicara jika perlu. Mata saya sebisa mungkin digunakan untuk membaca dan melihat hal-hal baik, kemarin, hari ini, dan sampai saya mati.

Entah apa yang saya tulis kali ini, bukan puisi. Hanya ingin menasehati diri, karena hidup tidak melulu cinta. Hidup harus diisi konsistensi. Mau jadi apa kedepannya dimulai dari apa yang dilakukan hari ini.

Ahh sudahlah!

Jakarta, 11 Mei

Senin, 09 Mei 2016

Nama Saya,........

Di sini, saya duduk di muka pintu,
teras di hunian saya, memandang cakrawala merah senja
semembara letupan hasrat saya semasa muda dulu.
Angin semilir-milir menyentuh tubuh saya
yang tua merenta,
menemui ingatan-ingatan lalu,

meneteslah air mata saya,
melihat diri saya kini.

Dulu saya pejuang, orang-orang mengelu-elukan saya,
menyebut diri saya; perayaan demokrasi.
Itu dulu.
Air mata kembali menetes. Membasahi kerah kemeja saya, dari kepala yang merunduk, malu.

Semasa muda, saya hidup di jalan-jalan.
Mengerubungi rezim-rezim yang menyayat kebebasan,
mengupas wajah busuk yang disimpan rapi dalam lemari penguasa,
memangkas habis jeruji-jeruji yang memenjarakan kebebasan.

Seluruh manusia di negeri tercinta, larut dalam diri saya,
menyatu dengan bara api di dada saya; sisa semangat yang kini memadam.
Bersama-sama, bermesra-mesraan saling merayakan kebebasan;
adakah yang lebih bebas daripada burung di luar sangkar? Ada. Yaitu saya, dan orang-orang yang mencintai saya.

Mereka berteriak, mereka bercerita dengan suara lantang,
mirip pidato presiden pertama kita.
Yang membara, yang meletup-letup sebuah harapan
untuk Ibu tercinta.
Ah, saya rindu…

Itu dulu. Saya beri tahu kepadamu,
itu dulu, tak lebih dari kata masa lampau.

Lalu kemudian,

tahun-tahun seperti orang-orang di senin pagi,
begitu terburu-buru beranjak.
Bekeluarga dan melahirkan masa kini, yang begitu lebih buruk daripada penjara di rezim dahulu.
Ia begitu berani meremat wajah saya yang sudah keriput dan menua ini.

Angin lebih jahat daripada suara panik orang-orang ketika rumahnya dijarah,
dirampok, suaminya ditembak, istrinya diperkosa, atau anak-anaknya ditemukan mati di jalan-jalan.
Angin sekejam Ibu kota. Ia meniupkan desas-desus tentang saya.
Saya yang tak ada dosa, dibilang dosa.
Saya yang tak berduit, dibilang kayaraya.
Saya yang ingin merayakan, dibilang ingin membunuh.
Ah, sungguh aduhai masa kini dan angin yang bersekongkol, demi membuat nama saya
lebih buruk daripada tersangka korupsi.

“Jangan kau dekati dia, dia meresahkan warga!” padahal dulu warga yang mencintai saya.
“Jangan dekati dia, dia provokator!”
“Jangan-jangan dia membayar antek-antek untuk merusuh di jalan.”

Aduhai sungguh pandai masa kini dan angin itu,
membisikkan apa yang tidak saya lakukan, demi terjaganya wajah busuk
dalam lemari penguasa.
Membuat buta orang-orang yang dulu mengelukan saya dengan pemujaan yang tak berkesudahan.

“Teriakkan kebebasan!”
“Maju terus, jangan gentar!”
“Gas air mata, peluru-peluru karet tidak akan membunuhmu!”
“Senjata-senjata api tidak seapi semangatmu, Bung!”
Ah, itu kata-kata yang dulu menyerukan nama saya.
Kata-kata api yang mampu membakar tubuh saya di jalan-jalan.

Dulu. Dulu sekali.
Jauh dari hari ini.

Jauh sebelum saya dibenci.

Ah, sampai mana tadi?
Oh, ya. Saya belum memperkenalkan diri.
Nama saya, Demonstrasi.

—-Jakarta, 09 Mei

Puisi ini untuk menggambarkan kondisi sekarang mengenai demonstrasi yang telah mengalami pergeseran makna. Demonstrasi bukan lagi sebagai toa untuk menggerakkan massa menjadi aktif dalam membongkar ketidak benaran dalam negeri ini, tetapi demonstrasi diartikan sebagai tindakan ricuh yang meresahkan masyarakat. Mengapa hal ini bisa terjadi? Tanyakan saja pada stasiun-stasiun Tv yang sering kau tonton itu.

Minggu, 08 Mei 2016

Love Me Like You Do

Seperti biasa, setiap hari aku akan menuliskanmu surat yang akan menumpuk menjadi link-link yang tak pernah kaubuka sama sekali.
Namun biarkanlah si bodoh ini tetap mengukiri aksara walau kepala rasanya pening akibat mengingatmu terlalu banyak, dan mencoba melupakanmu dengan banyak minum kopi. Oh what a fool me, melupakanmu dengan minum kopi? lol.

Belakangan ini, aku entah mengapa tergila-gila dengan lagu Love Me Like You Do-nya Ellie Goulding. Bila mendengar lagu itu pastilah tubuhku seperti kesurupan disco dancer, tangan menari-nari ke udara, tubuh berdansa mengikuti aliran tempo yang bersemangat, dan kepalaku seperti yang sudah-sudah; mengingatmu dalam ingar-bingar musik yang menyumbat telinga. Entah mengapa, setiap lirik yang kudengar bisa melayangkan ingatanku kepadamu. Setiap larik indah jatuh cinta seraya membuatku mengenangmu kembali, mengingat debar dan hangat yang sempat mampir di dadaku.

You’re the light, you’re the night
You’re the color of my blood
You’re the cure, you’re the pain
You’re the only thing I wanna touch
Never knew that it could mean so much, so much

Kau ialah cahaya, kau ialah gelap, kau ialah warna dalam darahku; merah; cinta. Ah, lirik yang merayu, berkobar-kobar dengan rasa jatuh cinta yang membara. You’re the cure, you’re the pain, kau  ialah penyembuh, dan kau juga derita yang ditawarkan sekaligus dalam satu waktu. Ironis. Dan mencintaimu sama ironisnya dengan lirik lagu ini. Ya, jatuh cinta denganmu ialah penyembuh luka masa laluku, kemudian kau menawarkan aku luka lagi. Kau obat sekaligus penyebab sakit. Ah, ironis bukan?
You’re the only thing I wanna touch, ya lebih ironis lagi ketika engkau masih satu-satunya orang yang masih ingin kusentuh, padahal seharusnya tidak. Dan aku seharusnya jangan sekali-sekali mencoba menyentuhmu. Kau duri mawar, dan aku ialah yang tak gentar ingin menggenggammu kuat-kuat.
Never knew that it could mean so much. Aku tidak pernah tahu mengapa mencintaimu bisa sedemikian berarti banyak untukku. Sedemikian gila.

You’re the fear, I don’t care
Cause I’ve never been so high
Follow me to the dark
Let me take you past our satellites
You can see the world you brought to life, to life

Kau ialah ketakutanku, di mana seharusnya cinta tidak tumbuh dariku untukmu. Cinta ini hanya benalu yang menempel pada dahan tubuhmu. Ada, dan mengganggu. I don’t care. Aku tidak peduli. Terdengar egois? Ya, memang benar adanya demikian. Aku tidak mau memunafikan diriku lebih jauh sebab aku tidak dapat membohongi diri lagi, aku tidak pernah merasa setinggi ini ketika mengenalmu. I’ve never been so high. So let me high, baby.
Follow me to the dark. Ikuti aku ke dalam gelap. Cintai aku dengan semestinya.
Let me take you past our satellites. Ayo jabat tanganku kembali, dengan belajar mencintaiku, aku akan mengajakmu keliling ruang angkasa, melalui beragam planet, rasi bintang, dan satelit-satelit di angkasa raya. Dan kau akan melihat sesuatu yang pernah kaubawa dalam hidupku; ribuan bintang, cahaya, dan matahari. Ya, seluruh keindahan angkasa raya pernah engkau bawa ke kehidupanku yang gulita. Kau bawa lagi gemerlap itu, lalu kembali pergi, kembali meninggalkan gelap..

Fading in, fading out
On the edge of paradise
Every inch of your skin is a holy grail I’ve got to find
Only you can set my heart on fire, on fire

Loving you can brought me to the edge of paradise. Mencintaimu bisa membawaku ke tepian surga duniawi. Ah, surga duniawi. Ternyata, aku bisa menemukan surga di dunia ini selain kopi dan cokelat hangat yang mampu meleburkan duka menjadi senyuman hanya dalam satu sesapan saja, yaitu engkau. Kau.
Every inch of your skin is a holy grail I’ve got to find. Gila! Setiap inci tubuhmu ialah kesucian manusiawi yang pernah kutemui. Lagu ini benar-benar penuh oleh lirik rayuan!.
But damn! The last line of those lyric; only you can set my heart on fire. Yeah, only you can set my heart on fire and burning my heart inside. Ironic. Ironic. Ironic,

Yeah, I’ll let you set the pace
Cause I’m not thinking straight
My head spinning around I can’t see clear no more
What are you waiting for?

I let you set the pace. Cause i’m not thinking straight. Ya. Aku tidak bisa berpikir waras lagi bagaimana ini bisa terjadi begitu gilanya kepadaku. Rasanya seperti mabuk kepayang! My head spinning around I can’t see clear no more.
What are you waiting for? Apa yang kau tunggu?

Love me like you do, love me like you do
Love me like you do, love me like you do
Touch me like you do, touch me like you do

love me like you do
let me be your favorite mistake

So, What are you waiting for?

Depok, 21 Desember

Demokrasi Kebablasan

Blas! Blas! Blas!

brengsek, anjing, bajingan!
itu kritik bung, bukan makian!
kritik terus pemerintahan!

Blas! Blas! Blas!
tulis berita menikam!
sebar kambing hitam!
presiden takkan naik pitam!

Blas! Blas! Blas!
fitnah, maki, sampai mati!
sampai naik gaji!
demi mendapat sesuap nasi!

Blas! Blas! Blas!
fitnah terus, pantang mundur!
kita takkan dibredel lagi!
tenang, era kita, era demokrasi kebablasan!
(Untuk media-media massa dan penulis-penulis yang mengenakan topeng demi tujuan politik, terutama untuk Jonru.)

Jakarta, Pasca Pilpres 2014

Mereka Bilang, Saya Pikir

Mereka bilang,
Mereka tiang
Pemerkasa keadilan

Saya pikir,
Pemerkasa, Pemerkosa?

Mereka koyak habis lapis-lapis
Dalam tubuh keadilan
Menodai nama sang agung

Mereka bilang,
Kebenaran dipanggul
Dua pundak mereka

Saya pikir,
Kebenaran, kemunafikan?

Mereka bungkam bibir-bibir kebenaran
Mereka beri toa pada mulut-mulut berbisa

Ah, mereka bilang
Begini, begitu
Demi mengkibar nama baik

Ah, saya pikir
Begini, begitu
Percuma busuk nama tlah tercium

Mereka bilang,
Mereka begini, begitu
Ah, saya pikir
Mereka begini, begitu

Kalibata, 18 Februari 2015
Menyinggung kebusukan di balik KPK VS POLRI yang masih sengit di layar telivisi. Mumet ndasku, bung!

Pada Petang Itu

Percakapan kita kali itu
Tak lebih seperti sepasang kekasih yang berhenti saling percaya
Seperti sepasang rekan politik yang kelak saling menikam
Kau bilang, cinta itu suatu yang statis
Tak akan berubah hingga kelak kita sama-sama beruban
Cinta, katamu, seperti bayi gemuk yang lucu dan akan selalu seperti itu
Tak pernah tahu cara bertumbuh

Aku bilang, cinta itu selalu bergerak
Seperti tanganmu yang perlahan-lahan menggenggan tanganku lalu kemudian melepasnya
Seperti bunga yang kau tanam di perkarangan rumahku
Benih mawar yang mekar di suatu hari yang cerah
Seperti aku yang kekanak-kanakan lalu mendewasa
Tapi kita sama-sama bersikeras tentang cinta
Kita sama-sama teguh atas ketidaktahuan kita
Kita begitu gemar menggenggam apa yang tak kita kenal

Petang itu, kau membuka percakapan tentang keluhan-keluhanmu yang semakin panjang
Aku membukanya dengan tingkah politisi dan perkara negara yang semakin panjang

Kau memesan teh yang terlalu manis
Aku memesan kopi yang terlalu pahit

Petang itu, bayi gemuk yang lucu mati mendadak karena penyakit yang membiarkannya tak pernah tumbuh
Dan aku lupa memberitahumu, mawar diperkarangan rumahku telah lama remuk oleh tanganku sendiri

Jakarta, 08 mei

Senin, 02 Mei 2016

Pejamlah, pejam, mata sayumu

Kutitipkan rindu pada bibirmu yang ranum,
manis oleh puisi.
Tapi rinduku itu sayang,
ialah berupa doa.

Ciumlah doa itu, sayang
serupa kaucium aroma tubuh kekasihmu.
Aku di sini jauh, hanya bisa tengadah
seraya mengucap namamu, rindu.

Pejamlah, pejam mata sayumu.
Aku begitu betah menatapnya berlama-lama dalam ingatan.
Tenang serupa laut tanpa ombak.

Pejamlah, pejam mata sayumu.
Jangan khawatir gelap mencuri cahayamu,
sebab sinar terang itu tiada mampu tersentuh kelam.

Pejamlah, pejam mata sayumu itu.
Sini, biar kubacakan dongeng;
Tentang rindu yang sebatang kara,
dan tak tahu arah mana ia akan pulang.

Pejam matamu, ialah ladang luas.
Dan aku ialah petani yang menyemai doa.
Maka tidurlah.
Jangan abai dengan tubuhmu sendiri.

Pejamlah, pejam mata sayumu.
Sini, biar kudongengkan tentang perempuan
tabah mencintai lelaki yang menaruh luka di dadanya.
Namanya, aku.

Pejamlah, pejam, mata sayumu…

Depok, 15 Desember

KOSONG

Kosong di kepala saya meluas
Menjadi semesta yang lengang oleh kata-kata
Biasanya, lalu lalang. Biasanya, ramai.
Untuk kali ini, tiada lagi yang harus berbaris

Entah. Semesta saya tak lagi ada puisi
Menguap entah ke mana selepas senja kemarin
Merupa sayup-sayup kumandang suara adzan maghrib
Sebentar, pelan, lalu tenggelam digantikan musik-musik galau

Entah. Inginnya saya selalu memuisikan rindu kepadamu
Rindu yan entah ke mana selepas senja kemarin
Senja yang merekah samar di balik punggungmu yang pergi
Tak semerekah hadirmu sebelum senja kemarin

Entah. Kepala saya kini merupa gendang tak dapat lagi ditabuh
Sebab tak akan ada suara ketika dipukulnya
Kosong. Sepi. Senyap.
Gelap-gelap merayapinya serupa lampu yang dipadamkan

Kosong. Sepi. Senyap.
Kepergianmu barangkali api yang membakar habis jerami demi sebuah jarum
Kata-kataku ialah jerami yang kaubakar
Dan jarum itu, ialah perempuan bernapas api yang kaucintai

Jakarta, 4 April

Berdo’a

langit malam legam bersama doa-doa
tanganmu menengadah ke langit, meminta pada Nya
kau percaya, Dia mendengar, Dia mengabulkan.
doamu seperti puisi yang gemetar di langit-langit

di atas sajadah, kau menemukan namanya
lindap di antara puisi-puisi yang kaurangkai itu
jauh dari pelupuk matamu,
ada yang diam-diam tersenyum; Dia, si Maha Puitis

air mata jatuh seolah mengaminkan harapanmu
turut sukacita mengingatmu mengingat-Nya.
dalam dadamu, diam-diam duka berangkat melangkahkan kaki
setelah kau lipat sajadah dan kesedihan itu

kau merasa udara segar memenuhi rongga paru-paru
dan kepalamu berubah lengang oleh suara-suara,
dan dadamu seperti jalan raya di pukul tiga;
angin bebas meriap di segala penjuru; melepas senyap, kemudian damai.

hawa sejuk menghampiri sisimu
puisi-puisi tertidur dalam kepalamu,
dan matamu kan terpejam seiring semilir cumbu udara.
legam sudah segalanya, lengang sudah, tentram jiwa.

lalu rindu-rindu akan menunggu di bawah bantalmu,
sementara mimpi telah siap jatuh di ruang imajimu.

tunggu aku.
tunggu aku.

Jakarta, 2 Mei

Penyair Patah Hati Telah Mati

seorang penyair terbenam
di bibir puisi, ia tenggelam
kesedihannya lesap oleh pasir-pasir
di matanya, sungai berhenti punya air

sepasang mata waktu berubah matahari
kering koreng di dadanya jadi kerontang
ia lupai itu nama-nama kesedihan
ia bakar sajak-sajak yang bersembunyi di dada

segelas, dua gelas cangkir kopi tiap pagi
pahit ialah kawan yang setia selain sepi
janji kedatangannya tak akan ingkar
setelah manis-manis, pahit pasti tandang

satu, dua lagu sedih ia putar ulang di benak
dikenang-kenang lah lirik-lirik picisan
lalu ia membuat puisi-puisi patah, luka
seperti ranting remuk dihantam deru angin

setiap malam tandang ke rumah,
ia selalu berada di kamar, dalam ranjang
berpeluh ke dalam jurang masa lampau
ia setubuhi kenangan hingga lelap mimpi-mimpi

semalam, ia dikabari bahwa kenangan telah mati
barangkali sebabnya, karena terlalu tua
atau terlalu lelah menjajahi tubuhnya kepada penyair itu
yang nantinya akan dijadikan puisi-puisi menyedihkan

kenangan berpulang
penyair itu tak mampu ingat apa-apa
setiap malam hanya bersulang pada sepi
berdansa dengan sunyi

hari ini, penyair tercinta kita mati
ia terbenam pada kesedihannya sendiri
lebur bersama jingga di langit senja
menemui kenangan di surga…

bernostalgi,
dan kembali.

Jakarta, 24 maret

5 tahun aku berseru dengan sepi, sejak tubuhmu dibalut kain putih....

Pujangga yang Mendiami Kepalamu

barangkali sudah lama betul
duka dan luka itu bermukim di tubuhmu
sesekali tatapmu berbicara pada kesedihanmu
kau tahu, mata serupa anak kecil yang tak pandai menipu

kadangkala tubuhmu seperti buku puisi
ditulisnya kata-kata yang terluka
di tubuh kertas yang tak punya dosa apa-apa
lalu di pelupuk matamu, tumbuh sungai

kemudian suatu hari nanti
kau akan menemui dirimu sendiri
dalam sajak-sajak patah hati
yang kautulis jauh-jauh hari

lalu kau akan terpingkal
sungai itu tumbuh lagi di matamu
sebagai pelepas dahaga sepi-sepi itu
kau ingat-ingat lagi, betapa luka begitu puisi, begitu sendu

kau tak pernah bangun dari mimpi ini;
di dalam kepalamu hidup seorang pujangga
yang sebatang kara, berkarib sepi dan kopi
berkali-kali patah hati, lalu pergi memeluk diri—dengan kata-kata

rahasia yang tak pernah kauketahui;
pujangga itu menikahi kesedihannya
dan puisi-puisi lahir dari rahim waktu;
membuat kau lupa, bagaimana wujud kesedihanmu

suatu hari nanti, aku tak tahu kapankah,
pujangga itu akan mati
dimakamkan tanpa bunga-bunga
hanya ada hampa…dan kau tak tahu itu. kau tak tahu.

Jakarta, 15 Maret

Luka Sepanjang Rel Kereta Api

barangkali hidup ialah semacam tiket keberangkatan,
menuju entah suka atau duka,
barangkali hidup seperti kereta api,
kita; memesan tujuan menuju bahagia atau kesedihan.

hidup itu sebuah perjalanan, kata seorang buta.
entah, dia harus bersyukur atau menyumpah-serapah,
karena yang ia tahu hanya angin dan bau anyir,
ia tidak akan melihat kenangan-kenangan yang diberikan perjalanan. itulah sebab dia mestinya bersyukur.

kadangkala, melihat kenangan sama saja menyayat matamu dengan belati,
luka dimana-mana, darah bersimbah-simbah,
yang kita tahu; waktu tidak akan mampu menghapus sejarah,
pun sebuah tujuan.

kenangan akan abadi dalam ingatan,
disimpan pada sebuah memoar panjang.

luka itu memanjang, di sepanjang rel kereta api, kata gadis itu.
di sisi kanan-kiri rel tiada mawar mekar, atau aliran sungai jernih yang menyejukkan mata,
tiap ia melihat mawar, yang ia ingat hanyalah darah yang pernah melukai jari-jemarinya
tiap kali ia melihat sungai, yang ia ingat hanyalah warna merah yang pernah menghanyutkan darah-darah orang tak bersalah.

kadang, luka bisa lebih panjang daripada rel kereta api.
sisi kanan-kiri ialah kenangan, yang ingin dilupakan.
sisi kanan-kiri ialah sungai, yang seperti air matanya.
seperti langit malam yang tabah menunggu kematiannya.

Jakarta, 3 Maret

Jumat, 29 April 2016

Buku ( Kumpulan Bualan Kata )

1. Kabar Gembira

Tuhan, ada kabar gembira!
ternyata, hatiku masih hidup!

(DW, 31 Oktober 2015)

2. Luruh

luruh
tumpah duka itu
digoyah gemuruh
angin tak bersisa
hati patah itu
tak lagi terasa
jauh
jauh sudah
bayangmu bertauh

(DW, 01 November 2015)

3. Perahu Layar

layar perahu berlayar
buih ombak berbuih
sepoi angin sepoi
bahagia aku bahagia
perahuku akhirnya berlabuh
di pelabuhan bernama kamu

(DW, 01 November 2015)

4. Malam

malam terang muram
lampu-lampu kota
bersinar temaram
malam begitu gigil
juga kelam
malam itu, kau menyeduh
rindu, dua
mari kita tumpahkan
berdua…

(DW, 01 November 2015)

5. Kopi Susu

dag-dig-dug
jantung itu berdegup
lebih cepat
tiga kali lipat
menghentak!
kusesap lagi manis pahit itu
sekali, dua kali
debar itu semakin membuncah
pelan…pelan
secangkir manis-pahit itu
membunuhku

(DW, 04 November 2015)

6. Tepuk Tangan!

rinduku sorak-sorai
ramai sendiri
bagaikan celoteh bocah kecil di sore hari
walau tanpa kawan
rinduku,
sedang bertepuk tangan
sendirian

(DW, 08 November 2015)

7. Aku, atau Kau?

bunga-bunga bernama masa lalu
tlah mati ditelan hari
musnah dimakan sejarah
layu disirami kenangan yang kian samar
lalu,
siapa yang berani gagas sejarah baru?
sejarah yang kan nanti tertulis abadi
aku, atau kau?

(DW, 09 November 2015)

8. Punggung

kupandangi punggungmu dari jauh
kumenahan gejolak ingin merengkuh
sebab aku tahu, cinta yang kini jatuh
belum sepenuhnya utuh
atau mungkin, entah

(DW, 02 Desember 2015)

9. Perjalanan

tak ada lagi yang bisa kupuisikan
sesak ini biarlah sendirian
lupakanlah aku kemudian
tak ada yang harus kau ingat, kecuali perjalanan

(DW, 02 Desember 2015)

10. HATI

kadang, aku tak mengerti
bagaimana cara kerja hati
mengapa terlalu cepat berganti isi
atau cepat sekali mati
entah, mana yang lebih baik,
atau yang lebih sedih
yang cepat berganti isi
atau yang sudah mati (?)

(DW, 03 Desember 2015)

Catatan tangan (bukan catatan kaki) : kumpulan puisi di atas adalah kumpulan puisi yang pernah saya catat di sebuah buku kosong (iya, buku kosong. kalo ada isinya susah kan nulisnya di mana.) di mana buku catatan itu sebenarnya kebanyakan isinya curhat, sih (ya blog lo juga isinya curhat semua!) …
oke skip!
bagi saya, menulis catatan itu berarti menulis sebuah perjalanan. dari tanggal-ke-tanggal. dari waktu-ke-waktu. dari hati-ke-hati. dan perjalanan saya dimulai ketika saya mencatat. terkadang, waktu bisa meniadakan sesuatu, seperti memori, misalnya. itu dia alasannya, mengapa saya harus mencatat, mengapa saya harus menulis.

sebab, saya tidak ingin waktu meniadakan memori.
saya tidak ingin waktu meniadakan….

kita.

aaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkkkkkkkkkkkkkkkk *lari-lari keliling komplek*
*baper sendiri* *abaikan*

Jakarta, 25 April

Hubungan Gelap Antara Ibu Pertiwi Dan Nepotisme

bibir ibu pertiwi merah delima
sebab gincu yang dibelinya
di tanah abang mangga dua
dia janda muda beranak jutaan jiwa

tubuhnya masih molek
meski digerogoti keserakahan
wajahnya masih nampak ayu
meski ditumbuhi malu sebab anak-anaknya banyak tak punya malu

lalu nepotisme adalah pria yang gagah
seperti kapiten
yang punya pedang panjang
sayang, gemar curang dan punya jiwa pecundang

keelokan ibu pertiwi
membuatnya berahi
tidak ketolong, tidak bisa dicegah siapa-siapa
keunggulannya, ia pandai merayu

sepulang dari pasar,
membeli pangan buat anak-anaknya
pakai anggaran negara
nepotisme merayunya

bualannya semanis
biang gula-gula yang dijual di kantin sekolah
ibu pertiwi tersipu malu,
pipinya merona merah mirip tomat dalam keranjang belanjanya

aih, duhai
cumbu rayu itu memikat ibu pertiwi
janda beranak ratusan jiwa
anak konglomerat, terhormat, bersanding dengan berandal tengik

aduhai malapetaka
cumbu rayu itu sampai kasur ibu pertiwi
bercintanya sejoli itu gelap-gelapan
seperti sepasang pengantin suami-istri

aduhai malapetaka
ibu pertiwi kemudian hari mengandung
jiwa-jiwa yang baru dari buah nepotisme
yang mendarah daging

hingga kini….

hingga habis suatu hari nanti…

—END

Depok, 30 september

Rabu, 27 April 2016

Dayung Rindu

Senja luruh di matamu yang hilang
Sepasang burung camar tenggelam
Dalam belantara laut, rinduku menjelma ikan-ikan
Cahaya mencuri ragamu, tapi kau membawa serta lukaku
Yang kau lumat dengan percakapan dan hening yang panjang
Sedih-sedih itu serupa nelayan yang lupa pulang demi makan
Mendayung-dayung menuju tepi yang sepi
Bertanya dan berkaca pada dinding laut; Adakah bahagia itu, Tuhan ?
Ikan-ikan itu mati dicium udara
Menggelepar ia diatas perahu yang oleng kekanan dan kekiri

Rinduku sesak napas
Dan kau masih luruh
Bersama senja dicuri cahaya

Depok, 06 September

Barangkali aku.....

Ada yang hilang dalam aku
telah aku cari disetiap sisi itu
tetapi, tiada yang kutemukan selain Aku..
Aku yang kehilang Aku yang lain
hanya ada Aku.. Aku yang tanpa Aku..
kehilangan tak pernah sehampa ini.
langit dan jendela sama-sama buram
mendung dan buram sama-sama ada dalam Aku.
barangkali kesedihan telah membunuh anak kecil dalam Aku.
tetapi kesedihan tidak pernah sejahat itu.
Ada yang hilang dalam Aku
dan Aku tak pernah menemukan aku yang lain itu.
siapa yang melenyapkan Aku?
siapakah itu Aku?
kecuali dalam puisi, Aku tidak pernah kehilangan aku.
Barangkali Aku....

-Wid
Jakarta, 19 Februari 2016