Sabtu, 02 Juli 2016

Hujan yang Turun dari Kepalaku

sebuah dunia pernah tinggal di kepalaku, bibirnya seperti organ baru dalam tubuhku. dunia itu menurunkan musim, yang menentukan cuaca apa yang sedang digenggam oleh dadaku. seperti sebuah pesta semesta dalam tubuh perempuan. serangga-serangga membuat tarian, menjalari lambungku hingga aku bergidik geli. hawa matahari pagi pindah ke dalamku. dunia seakan-akan sedang mempermainkan opera di dalam seorang perempuan. gigil pagi seperti dingin yang pernah kurasakan lewat tenggorokanku ketika cairan kopi yang sudah lama terseduh menjalari lorong gelap dalam tubuhku. mereka bilang aku terjatuh, tapi kakiku tak menjejaki tanah. ada yang janggal ketika mereka melanjutkan kata-katanya dengan cinta. aku, jatuh cinta, katanya. benar? bila benar aku terjatuh, aku lebih merasa bila tubuhku sedang jatuh di langit.

aku hanya seperti tubuh yang diisi oleh kembang api. bisa meledak kapan saja tanpa meruntuhkan dunia yang tinggal dalam diriku. tapi dunia pasti terus berputar seperti roda yang dipasang di belakang bokong kuda. tiba-tiba saja dunia dalam diriku lepas dari porosnya, menggelinding entah kemana. aku bingung, dan hendak bertanya kepada langit yang berada di atas kepalaku, atau di bawah kakiku, benarkah dunia berputar? mengapa ia hilang? mereka bilang, aku hanya sedang patah. bagaimana bisa? tubuhku tidak terbagi dua, hanya saja seperti ada lubang yang mulai hinggap di dadaku, seperti tahi burung yang tiba-tiba jatuh di atas kepalamu ketika sedang berada di bawah rindangnya pohon. lubang itu, mengeluarkan air. semburan airnya membanjiri tubuhku hampir sedadaku. dadaku bisa mati tenggelam, sebab ia tak pandai berenang.

kepalaku seperti menjelma langit yang mendung. awan-awan berarak-arakan menuju mataku, dan petir menggelegar dari dalam telingaku. apa yang dititipkan hidup kepadaku kali ini? sebuah langit? namun aku mendengar suara hujan dari dalam dadaku. rintiknya halus bagai butiran garam di dapur ibu. ini sebuah musim, pikirku. kini aku hampir menyelesaikan sebuah teka-teki yang menyusun tubuhku dengan pertanyaan. kiranya begini, sebuah dunia, yang kemarin berada di dalam diriku, kini sudah runtuh. lepas dari porosnya, entah menggelinding ke mana, berputar ke mana. tapi musim di dadaku tak pernah meninggalkanku. sebuah dunia itu, telah meninggalkan musim hujan di dadaku, dan langit mendung, di kepalaku.

Depok, 28 Agustus 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar