Kamis, 06 Oktober 2016

Kota Lampu-Lampu

pada gerimis yang rintiknya telah selesai
di sebuah kota yang kini basah
oleh lampu-lampu sebagai bayang-bayang sepi
dan mereka yang sibuk menulis kisah

“tulislah sebuah puisi,” katamu
di belakang tubuhmu, kuhirup wangi hujan
“tentang hujan dan kota lampu-lampu.” tandasmu
dalam kepala, kutulis namamu sebagai judul puisi

kunamai engkau kota lampu-lampu
di mana hujan bisa menjelma jutaan cahaya
pada jalan-jalan basah oleh kenangan
dan air mata para perindu

merah, hijau, kuning, biru
jalan-jalan beradu warna
siapa yang paling terang, siapa paling indah
tak ada yang mampu menandingimu; kota lampu-lampuku

pada hidupku yang pernah hujan berkali-kali
kau ialah kota lampu-lampu
yang buat luka memiliki warna
yang buat satu padu keindahan

hujan dan lampu-lampu
diciuminya jalan-jalan dengan hujan, dan lampu-lampu
yang basah oleh kenang, oleh kita

biar lukaku terus hujan
hidupku pun
tetapi kau, tetap menjadi kota lampu-lampu
yang mengindahkan hujanku

-wid
Jakarta, 06 Oktober 2016

Gedung-gedung bisa menua, tetapi kenangan tidak. Sebuah kota bisa kehilangan pesonanya tapi memori tentang manusia yang hidup disana abadi. Andai mengulang masa lalu semudah duduk di alun-alun dan menatap gedung tua penuh sejarah, tentu takkan kusesali segala gelisah yang kerap mampir saat kita bersama.

Bandung, aku rindu.

Sabtu, 17 September 2016

September Yang Sibuk Memuisikan Rindu

September sibuk memuisikan rindu
Setelah Agustus pergi menyisakan sendu
Tangis, sedu-sedan sepasang kekasih yang saling meninggalkan
Ketika tatap dan ratapan tiada lagi berarti tuk bertahan

Belasan koper pembawa kenang tlah dilarungkan jauh-jauh
Menepikan ingatan-ingatan yang lalang di dua kepala
Percuma, kenangan itu ternyata tertanam dalam-dalam meski raga kian menjauh
Meski lipatan waktu kini terentang untuk saling melupa

Dua kota di kepala yang berbeda, terkadang masih riuh oleh kenangan
Saat malam menjelang, ingatan serupa lalu lintas yang padat lalu lalang
Saat pagi datang, mimpi semalam merupa lembar buram kenang dan harapan
Apalagi ketika rintik hujan memenuhi gendang tipis di telinga, bersenandung

Bayang tubuh laki-laki yang ia cintai menjelma hujan di kota pikirannya
Rindu menembus ulu hati dengan anak panah seruncing kata perpisahan
Di kepala lelakinya, bayang perempuan yang pernah ia cintai, lenyap menjadi kemarau di kotanya
Baginya, musim hujan telah berakhir digantikan musim yang lain

Tetapi dua rindu, semakin hari, semakin tinggi berterbangan ke udara
Ke langit September yang terkadang mendung abu-abu
Sementara dua hati saling melupakan, September sibuk menyusun aksara
Lewat hujan yang turun dari tanggal satu hingga tiga puluh satu

Sesibuk itu September memuisikan rindu

Kepada September Yang Sibuk Memuisikan Rindu,
Akulah Perempuan yang mengerami hujan di kepalaku
Pemilik sayap-sayap rindu yang berterbangan ke langitmu
Perenggut cahaya kuning matahari dan mengubahnya jadi abu-abu

Akulah yang kerap berdoa agar langitmu mendung abu-abu
Sebab lelaki yang kucintai itu mencintai warna abu-abu
Akulah yang memohon hujan kepadamu
Sebab lelaki yang kucintai itu gemar minum kopi sambil mendengar suara hujan yang merdu

Sebab mendung dan hujan pernah mempertemukan kami
Sebab abu-abu dan aroma hujan ialah kenangan paling manis di kisah kami
Sebab aku berharap, hujan yang tumpah, akan mengingatkannya tentang aku
Sebab aku berdoa agar hujan membuatnya rindu padaku

September masih sibuk memuisikan rindu
Sebelum lewat tanggal tiga puluh satu
Hujan serupa celotehan masa lalu
Yang berpuisi dengan sendu

Stasiun Universitas Indonesia, 17 September 2016
Di luar tidak hujan, tapi di kepalaku sedang deras
Oleh ingatan tentang kamu.
Di sini, di stasiun universitas indonesia.
Setahun lalu.

Ini Apa?

Saya bingung harus dari mana puisi ini bermula.
Ini puisi? Oh ya, tentu saja.
Puisi yang tadinya ingin mengajak perasaanku turut serta.
Namun nampaknya, ia kelelahan sendiri telah menunggu berhari-hari.

Apa yang ditunggu? Saya juga entah tidak tahu.
Setidak tahu, apakah ini sebuah puisi? Tidak tahu. Mungkin. Ya, tentu saja.

Semrawut, Jon! Kepalaku semrawut!
Riuh bergemuruh ramai celoteh-celoteh suaramu yang kuhapal.
Serapal do’a yang kau bisikkan ke langit; tentang jadikanlah dia putri hujan supaya turun membasuh tubuhmu.
Kau ingat dia? Iya, dia. Bukan saya, yang jelas.

Ini puisi macam apa? Kata saya, saya bingung. Ini puisi? Ya tentu saja.

Hanya saja apa puisi semenyebalkan ini? Setidakjelas ini?
Ya, kadang-kadang begitu. Biasakanlah.

Penyair kadang tak selalu romantis
Penyair kadang tak selalu sendu biru sebiru kertas warna bocah-bocah TK yang dijadikannya ontang-anting.
Penyair juga terkadang tak semerah muda bulan februari.
Penyair kadang memiliki fantasi gilanya; menulis apa saja yang dirasa pantas.

Abstrak. Tidak jelas. Penuh sampah. Coret sana. Coret sini. Buang.

Ya, penyair kadang seperti itu.

Kau bertanya mengapa? Entah, aku bukan seorang penyair. Bukan juga pujangga.

Aku hanya perempuan yang lagi tak waras isi kepalanya. Bagaimana bisa dikatakan waras, apabila kepalaku saja tertawa sendiri, gaduh sendiri, menangis sendiri? Kau, iya kau. Sedang apa di dalam sana? Hei! Kembali! Kembali! HEI!

Siapa kau?
Siapa? Hah? Aku tidak mengenalmu?
Apa kita dua orang asing? AH…

Bukan?

Lalu kau siapa?
Hah?

Ini puisi?
Bukan. Bukan, tentu saja.

Depok, 17 September 2016

Puisi yang Tak Pernah Kautulis

Puisi yang tak pernah kautulis
Ialah aksara paling merindu
Memintal luka sendiri berpura tersenyum manis
Matanya lebam oleh air mata sebab disesaki sendu

Puisi yang tak pernah kautulis
Ialah kata yang berharap lebur
Pada ingatanmu sebagai bayang yang tak pernah kabur
Dan tak pernah lelah tenggelam dalam tangis

Puisi yang tak pernah kautulis
Ialah suara paling senyap sepi sedu sedan
Menanam luka lewat puisi dua baris
Tanpa terdengar ingar di telingamu, Tuan

Puisi yang tak pernah kautulis
Sepi mengeja tubuh milik sendiri
Desau angin turut coba meramaikan tangis
Menggigilkan sepi sampai mati

Puisi yang tak pernah kautulis
Ialah aku
Yang mengenangmu dengan manis dan tangis
Itu aku

Jakarta, 15 September 2016

Di sini gelap,
Gelap ialah candu
Dalam senyap
Kau ialah yang tak lepas membuatku jatuh

Sebuah Kota di Sepasang Matamu

suatu hari aku pernah mengunjungi sebuah kota
tidak ada yang bisa kulihat di sana selain sepi
duka, dan hal-hal lain yang berupa kesedihan
tidak ada yang bisa kudengar kecuali hening yang menyayat batin

kota itu mirip matamu;
sepasang matahari yang terbit di wajahmu
di bulan juni, di musim hujan
dan kabut-kabut tipis menghalau hangatnya

di sana, aku seorang pengunjung
duduk di sudut taman tanpa seorang kawan
untungnya aku masih mampu bercakap-cakap
dengan kesepian dan secangkir kopi

lampu-lampu berpendaran kala malam datang
sering kulihat seorang perempuan melintas berkali-kali
tapi bukan tubuhku
tubuhku hanya pengunjung yang tak punya tempat tinggal

perempuan itu berlarian kesana – kemari
mirip burung-burung pengantar surat atau angin
perempuan itu lalu lalang tapi tak sendiri, sepertiku
ia bergerombol bersama puisi-puisi yang memiliki mata sendu

kota itu hidup pukul tujuh pagi
aroma kopi dan perempuan yang sering melintas menguarkan wanginya
dan kota itu tutup saat tengah malam atau pukul tiga
puisi dan perempuan itu ialah yang terakhir berada di kota itu

dan aku hanya pejalan kaki yang tersesat
bermimpi punya bangunan yang kusebut rumah
membunuh perempuan yang seringkali melintas itu suatu waktu
sebelum kucuri kesepian itu seluruhnya

kota itu mirip matamu
dan aku sedang berkunjung ke dalam matamu
bercita-cita suatu hari bisa bermukim di sana
tanpa sepi, dan perempuan itu

- Wid
Depok, 17 September 2016

Minggu, 28 Agustus 2016

[CERPEN] Melepasmu – Drive



PRAAAANGGG!

Piring di dapur pecah satu-satu. Andita melemparkannya sebagai bentuk amarah yang seringkali tak terkendali. Perempuan itu menangis, sementara tangannya sibuk meraih piring, gelas lalu melemparkannya ke mana saja. Ke lantai, ke tembok. Meretakkan sunyi yang terjadi berjam-jam lalu.

“Andita, hentikan!” aku menarik tubuhnya menjauh dari rak piring. Tangannya meronta. Perempuan itu terus saja menangis.

“Brengsek kamu, mas! Kamu selingkuh kan? Iya kan?” PRAAANGGG! satu piring dibanting lagi ke depan wajahku. Air matanya leleh serupa lilin yang dibakar api. Bahunya terguncang sebab tangisannya yang memilukan.

Kegusaranku semakin menjadi, kutarik tangannya, tak peduli perempuan itu akan meronta atau mencakar lenganku. Andita sudah kelewatan! Beling-beling gelas dan piring yang berserakan di lantai, kulewati begitu saja tanpa peduli goresannya akan melukaiku dan kaki Andita. Dia sudah kelewatan membuatku muak!

“Mas,lepas, Mas! Brensek kamu, mas! Bajingan!” makinya terus-terusan. Kalau aku bisa tega, mungkin aku bisa menamparnya karena ucapannya yang tak pantas. Tapi aku tak sampai hati melakukannya.

“DIAM! Kamu sudah kelewatan, Dita!” aku mencengkram tangannya. Dita masih menangis sesegukan. Berteriak kesakitan, aku tidak peduli lagi.

“Sakit, mas, lepas!” perempuan itu terus meronta di depanku.

Setelah keluar dari dapur, aku melepasnya.

“Kenapa kamu melakukan itu semua?” tanyaku gusar. Mataku menatapnya tajam, sementara dia masih sibuk menangis.

“Harusnya aku yang bertanya begitu sama kamu, mas!” suara Dita meninggi. Tatapannya tak kalah tajam.

“Apa? Apa yang mau kautanyakan? Apa lagi yang mau kautuduhkan?”

Dita terdiam. Wajahnya membuang muka. Masih menangis.

“Kamu selingkuh! Iya kan?” suara Dita makin meninggi. Perempuan itu sekarang sudah berani mengarahkan telunjuknya ke wajahku.

“Bukti dari mana? Kamu jangan asal menuduh ya?!” Aku semakin gusar. Pertengkaran itu tak lagi dapat terelakan lagi. Andita sudah keterlaluan. Semakin hari, semakin muak saja aku padanya. Perangainya dari dulu tak berubah, sikap cemburunya pun sama.

Dengan gontai langkah Dita menuju kamar, lalu kembali lagi bersama buntalan kemeja putih yang kemarin malam kukenakan.

“Ini apa, mas? APAAA?” Dia melemparkan kemeja itu ke depan wajahku. Pada bagian kerah, aku melihat noda merah muda itu. Noda lipstickperempuan.

“Cium, kemeja itu, mas. CIUM!!” kini Andita menjejalkan kemeja itu ke hidungku. Sekilas, terhirup bau yang asing. Wangi parfum perempuan.

Aku menelan ludah. Habislah sudah, riwayatku.

Perempuan di depanku kini tengah sibuk melepas dasi di kemejaku. Dengan senyum yang terlampir di wajahnya, dia mampu menghapus segala lelah juga kerumitan-kerumitan yang sedang kualami. Aku mengecup keningnya. Debar ini masih utuh untuknya. Belum pernah berkurang sedikit pun. Perempuan itu tertawa.

“Aku rindu kamu, mas.” katanya masih dengan melepas dasi lalu disusul membuka kancing kemejaku.

Kukecup kening itu untuk kedua kali. “Aku juga.” kataku sambil tersenyum. Sudah hampir satu minggu kami tak bertemu lagi. Kesibukan di kantorku, dan urusan yang kian meruncing di rumah, membuatku jarang menemuinya. Dia tersenyum samar. Rambutnya yang lurus dan kemerah-merahan nampak makin menggodaku di kala malam seperti ini. Perempuan itu kini dibalut kemeja putih yang kebesaran di tubuhnya, saking kebesarannya, celana pendeknya pun tertutupi dengan itu. Aku selalu suka bila dia menyambutku dengan penampilannya yang seperti itu; membuatku merasa semakin tertantang untuk mencintainya.

Kancing itu hampir habis ia lepaskan. Lalu dia memajukan tubuhnya untuk melepas kemejaku. Sekilas, tercium aroma tubuh yang bercampur parfum yang sering ia kenakan; aroma yang sama seperti bertahun-tahun yang lalu. Aroma yang sampai kini terus kuingat; cinnamon. Aroma yang tak pernah gagal menghangatkan tubuh dan ingatanku.

Beberapa menit kemudian, tubuhku dan tubuhnya sudah saling berhadap-hadapan. Siap untuk saling mencintai dari posisi yang berlawanan. Atas-bawah. Kuturunkan bibirku sedikit untuk mencium bibirnya yang lembut. Bibir yang dulu hanya membayangiku lewat mimpi. Bibir yang pernah kuterka seberapa lembut rasanya. Kini aku merasakannya. Tekstur bibirnya, tarikan bibir yang saling berpagut, harum liurnya, dan seberapa manis ludah yang saling kita tukar.

Malam ini angin tak mampu lagi mengeringkan tubuh kita yang saling basah. Dinginnya udara malam tak dapat lagi menyentuh kita yang sedang membara dalam lenguhan yang panjang. Suara burung hantu ataupun jangkrik tak terdengar, lenyap oleh suara rintihan dan bunyi-bunyian yang lain. Kita sepasang dosa yang sedang melawan arus takdir yang begitu kejam. Kita sepasan do’a yang tak pernah terkabul, lalu berontak dengan dosa-dosa yang sedang kita perbuat.

Satu tarikan napas terdengar lebih mirip seperti lenguhan.

“Aku….hh…mencintaimu…” bisiknya lembut.

“Aku..juga….hh..” balasku. Kucium lagi bibirnya. Untuk kali terakhir di malam ini. Aku, sungguh-sungguh mencintaimu, lanjutku dalam hati.

Andita sudah menungguku di depan pintu ketika aku baru saja masuk ke dalam rumah. Wajahnya tersenyum. Berbinar-binar. Ini kejadian langka. Biasanya, dia selalu memamerkan wajah muak, kesal, bosan, marah ketika aku sampai di rumah. Tapi ini berbeda. Wajahnya tersenyum. Bibirnya menyungging senyum paling lebar. Dan aku, pernah jatuh cinta dengan senyumnya yang seperti ini.

Berbeda dengan malam satu minggu sebelumnya, ketika dia heboh membanting hampir seluruh perkakas makan di dapur, malam ini Andita terlihat cantik sekali dengan senyum menawan yang pernah memikat hatiku dulu. Akhirnya, selama berbulan-bulan, aku menemukan oase di tengah gurun pasir. Aku menemukan sedikit harapan atas kacaunya rumah tanggaku belakangan ini.

“Mas…sudah pulang? Aku menunggu kamu dari tadi, lho..” katanya lembut sambil melepas dasi dan kemejaku. Seingatku, ini kali pertamanya dia lakukan sejak pernikahanku satu tahu lalu.

“Ngg…kamu kok tumben, bun manis begini…” kataku menggodanya. Dia tersenyum, matanya menyimpan banyak rona bahagia.

“Aku cuma mau jadi istri yang baik buat kamu, mas.” katanya lembut. Lalu tubuhnya memelukku. Seperti ada yang salah, dia memelukku lama sekali. Seakan takut kehilangan aku.

“Mas, aku hamil.” ujarnya senang.

Seperti tersengat ribuan lebah, aku terpaku. Terkejut dengan kalimat yang baru saja diucapkan perempuan yang sedang memelukku ini. Andita hamil. Ini jelas kabar baik buat keluarga kecilku. Segelintir rasa gembira ikut hadir dalam benakku. Andita hamil. Artinya, sebentar lagi aku akan menjadi Ayah seutuhnya untuk calon bayi mungil yang belum bernama itu.

Namun segelintir rasa cemas juga turut hadir di pesta kecil itu.

Ingatan tentang seorang perempuan.

Riana. Perempuan berambut lurus kemerah-merahan. Perempuan yang gemar mengenakan kemeja longgar tiap kali aku datang. Perempuan yang selalu menungguku dalam flat nomor 56 di apartemen bergengsi di bilangan Jakarta. Perempuan yang selalu menungguku sejak dulu. Perempuan yang aku cintai. Sejak dulu. Jauh sebelum Andita hadir di hidupku. Perempuan beraroma cinnamon.

Malam, pukul sebelas waktu Indonesia bagian barat.

Hujan mengguyur Desember setiap malam. Hujan yang selalu dijadikan alas kaki untuk terhindar dari beling-beling. Hujan yang kerap dijadikan alasan demi dosa-dosa yang indah dan direncanakan.

Basah kuyup, tanpa payung, aku berlari menuju gedung apartemen Riana dari tempat parkir mobil. Derap langkahku bergetar, memasuki kotak bernamakan lift dan menekan nomor lantai tempat di mana Riana menungguku.
Setiap bunyi lift, tanda satu-satu lantai telah dilewati ialah bunyi lain dari kecemasan yag satu-satu ikut membuncah di dadaku. Kita semakin dekat dengan kesedihan, bisikku dalam hati.

Tokk..tokk..tok..

Kuketuk pintu flatnya tergesa-gesa. Tak ada jawaban. Kuketuk lagi untuk kedua kali. Tak lama pintu terbuka.
Perempuan berdiri dengan mata bundarnya yang kelihatan terkejut, sebab aku tak mengatakan akan datang. Kemudian dia tersenyum lebar, sambil bibirnya rewel karena tak bilang akan datang dan karena tubuhku yang kini kuyup kebasahan.

“Kamu kok nggak bilang mau ke sini. Mau bikin kejutan ya? Kebiasaan kamu mah bikin aku terkejut terus. Aduh…baju kamu basah banget. Aku ambilin bajumu di lemariku, ya?” katanya rewel. Aku hanya menatap punggungnya yang makin berlalu menuju kamar, megambil sepotong bajuku yang ia simpan di lemarinya. Untuk mengobati rindu, katanya.

“Tidak usah, Ri. Aku hanya sebentar.” kataku menghentikan langkahnya. Dia menoleh.

Lho, sebentar? Ada apa, mas?” tanyanya sambil kembali menghampiriku. Aku menarik napas panjang. Rasanya berat sekaligus sesak.

“Ri…aku bingung memulainya dari mana..” aku tak berani menatapnya yang duduk di sampingku dengan wajah bertanya.

“Ada apa, mas? Kabar buruk?” tanyanya menebak. Tangannya kini sibuk mengusap punggungku. Mencoba menenangkanku. Percuma, semakin ia membelaiku, semakin sedih aku mengatakan ini padanya.

Aku mengangguk. Sebagai jawaban, ya ini kabar buruk. Sekaligus gembira di lain sisi.

“Istriku hamil, Ri…” desahku pelan setelah jeda yang lumayan panjang. Hening. Tak ada yang keluar baik dari bibirku maupun bibir lembut Riana.

“Bukankah itu kabar baik?” tanyanya. Aku menoleh. Memberanikan diri menatap wajanya yang sedang tersenyum. Walau aku tahu di sana terselip kesedihan yang sangat kentara.

“Di satu sisi, memang kabar baik. Tapi, Ri..” aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku. Hening lagi. Kata-kataku menggantung bagai do’a yang tak pernah terjawab.
“Aku tak bisa meneruskan ini..” kataku akhirnya. Ucapan selamat tinggal yang buruk.

Riana melepas tangannya dari punggungku. Kemudian dia sibuk memandangi jari-jemarinya sendiri di pangkuan.
“Aku sudah tahu ini akan terjadi pada kita, mas..” ujarnya pelan. Kepalanya terus menunduk. Menahan tangis yang tak ingin ia tumpahkan, kurasa.

“Takdir memang tidak pernah menginginkan kita.” lanjutnya sedih. Aku masih menatapnya yang kini tenggelam dalam lamunan dan lipatan buku-buku di jarinya.

“Aku mencintaimu, Ri…” aku mengatakan lagi kalimat serupa berulang kali padanya.

“Aku tahu.” balasnya singkat. Masih menundukan kepala.

“Tetapi itu cukup. Aku tidak ingin mencintaimu lebih jauh lagi. Aku tidak ingin melukai kita semakin dalam.”

“Aku paham…” balasnya. Kali ini dengan suara tangis yang samar terdengar.

“Ri….” aku memanggilnya. Kita sama-sama hening dalam ramai di kepala kita masing-masing. Saling mengumpat, mengapa takdir harus setega ini memisahkan dua hati yang tak pernah bisa menyatu. Mengapa takdir harus membiarkan dua hati saling terluka dengan cintanya. Cinta yang katanya agung. Cinta yang katanya bisa membahagiakan hidup seseorang. Namun yang kurasakan, justru sebaliknya.

“Lepaskanlah aku selagi sanggup, mas. Sebelum cinta membuatmu lupa jalan pulang.” gumamnya pelan.

“Aku bukan rumah yang disediakan takdir untukmu, pulanglah. Lepaskanlah aku. Kita memang seharusnya tidak memulai ini.” lanjutnya lagi. Kudengar, tangisnya semakin kentara. Jelas. Bunyi kesedihan yang paling menyayat. Kutarik tubuhnya dalam dekapanku. Perempuan itu tak meronta sama sekali. Dia pasrah jatuh pada dadaku yang selalu lapang untuknya. Untuk tangisannya yang semakin pecah di hening malam ini. Suaranya serupa suara pecahan beling yang Andita lemparkan ke lantai ataupun ke tembok. Bunyi lain dari kesedihan dan amarah paling dalam.

Malam ini, tak ada lenguhan panjang, tak ada hasrat liar yang bergemuruh dalam dada, tak ada basah yang menyenangkan kecuali air mata kesedihan Riana di kemejaku. Malam ini, angin malam mampu menggigilkan kita yang berpeluk tanpa berpeluh, udara malam mampu membekukan hangat bara api yang dulu singgah di dadaku ketika kita berdua dalam satu ruang, dan suara burung hantu juga jangkrik terdengar lebih lantang dari biasanya. Malam ini, aku menghirup lagi aroma cinnamon lebih panjang, lebih dalam lagi, untuk diingat dalam jangka waktu yang lama. Sekali lagi.

Tak mungkin menyalahkan waktu
Tak mungkin menyalahkan keadaan
Kau datang di saat ku membutuhkanmu
Dari masalah hidupku bersamanya

Semakin ku menyayangimu
Semakin ku harus melepasmu dari hidupku
Tak ingin lukai hatimu lebih dari ini
Kita tak mungkin terus bersama

Suatu saat nanti kau kan dapatkan
Seorang yang kan damping hidupmu
Biarkan ini menjadi kenangan
Dua hati yang tak pernah menyatu

Maafkan aku
Yang membiarkanmu masuk ke dalam hidupku ini
Maafkan aku
Yang harus melepasmu walau ku tak ingin

Semakin terasa cintamu
Semakin ku harus melepasmu dari hidupku

I will let you go
I will let you go

I will let you go…


Kesalahan Yang Tak Seharusnya

Saya tahu ini salah, tapi bagaimana? Memang siapa yang bisa mengontrol hati manusia kecuali Tuhan? Bahkan kita pun, sejujurnya tidak dapat mengontrol hati kita sendiri. Oke, oke, saya di sini bukan untuk ceramah, apa lagi mengeluh, saya hanya heran pada diri saya sendiri. Mengapa semua ini saya lakukan, padahal saya tahu ini salah? Nah, itu adalah pertanyaan personal kepada dalam nurani saya. Ah, apakah kesederhanaan cinta bisa merumitkan hidup? Atau kesederhanaan hidup adalah kerumitan itu sendiri? Sudahlah, bila sedang kacau begini, saya sulit berpikir jernih.

“Jadi, bagaimana?” tanyanya bingung sambil memainkan lengan kemeja saya.

“Entahlah, Ra.” saya menggelengkan kepala, pening.

“Memang kamu rela?” tanyanya lagi, kali ini ia memeluk lengan saya.

“Kamu tidak perlu bertanya jawabannya. Kamu sudah tahu.” jawab saya kalem.

“Mana mungkin aku tahu kalau kamu nggak kasih tahu, memangnya aku paranormal?!” sungutnya. Saya mengusap kepalanya pelan. Perempuan ini begitu lucu bila sedang marah atau ngedumel seperti sekarang ini.

Saya diam sejenak. Menarik napas dalam-dalam. Sungguh pelik, dan juga rumit. Saya tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Saya tidak pernah mengharapkan ini. Perpisahan. Tidak ada yang mengharapkan perpisahan, kecuali mempersiapkan. Sedikit-banyak orang barangkali pernah mempersiapkan perpisahan untuk suatu hubungan yang bersifat sementara atau hubungan berisiko, tapi bodohnya, saya tidak melakukannya. Saya belum siap, padahal tahu kalau hal ini akan terjadi nanti sewaktu-waktu. Dan inilah waktunya.

“Ra, maaf.” kata saya. Dia sedang rebah di bahu saya, saya tahu berat untuk perempuan ini mengatakan hal yang sejujurnya. Tapi apa daya? Saya tahu dia kebingungan, saya tahu dia tidak bermaksud melukai saya.

“Bukan kamu mas yang harus minta maaf. Tapi aku,” dia kembali mendekap erat lengan saya, mungkin untuk kali terakhir.

Saya tersenyum. Bagaimana pun tempat saya bukan di sini. Saya tak seharusnya lancang mengetuk pintu hatinya, dan seharusnya, dia juga tidak membukakannya untuk saya.

“Semuanya sudah terlanjur, Ra. Bagaimana lagi? Kamu sudah memilih, kan?” tanya saya, kini dia yang mengangguk pasrah pada lengan saya.

“Maaf, mas.” katanya pelan.

“Maaf tidak bisa mengubah segalanya yang tlah terjadi, Ra.” saya tersenyum.

“Aku tau.”

“Aku pikir..-” katanya pelan. “Siapa pun itu yang menciptakan kata ‘maaf’ sungguh sia-sia.” guraunya pedas.

Saya kembali tersenyum mendengarnya. Saya tahu dia tidak rela, sama seperti saya, jadi saya memakluminya.

“Tidak ada yang sia-sia, Ra.” saya mengusap rambutnya yang hitam, panjang, dan bergelombang. Harum apel menguar dari sana serupa melati yang sedang mekar. Saya selalu suka mengusap rambutnya seperti seorang ayah kepada anak perempuannya. Amira begitu kekanak-kanakan, tapi terkadang kedewasaannya melampaui saya yang tiga tahun lebih tua darinya. Saya menikmati udara di depan saya; aroma apel dan harum lavender yang menguar dari tubuhnya. Mungkin, aroma yang sedang saya hirup kali ini adalah aroma surga terakhir yang saya bisa nikmati. Aroma Amira. Ah, begitu saya tidak menginginkannya pergi. Begitu saya menginginkannya tidak memilih apa-apa selain saya.

“Kamu pasti tau kenapa aku jatuh cinta padamu kan, mas?” tanyanya berdesis, mirip bisikan ular.

Saya menggeleng. Saya tidak tahu. Dia tidak pernah memberikan alasan mengapa dia jatuh cinta pada saya dan menerima saya masuk ke dalam hidupnya. Yang saya herankan, mengapa dia menanyakan hal seperti ini di saat semua sudah hampir selesai.

“Kamu mempunyai apa yang dia tidak punya.” dia menjawabnya sendiri.

“Begitu kah? Tapi sayangnya, hal itu tidak membuat kamu memilih aku, kan?” saya menggoda. Oke, mungkin saya kelewat denial, bisa-bisanya menggoda dia lagi setelah apa yang dia katakan.

Amira terdiam. Dia tertunduk pada di lengan saya. Tangannya masih erat memelukinya. Hidungnya menempel pada lengan kemeja saya. Mungkin, dia sedang mengambil aroma saya untuk diingat kembali nanti, atau dibayangkan kembali ketika dia sedang memeluk kekasihnya yang sebenarnya. Ya, kekasih Amira yang sebenarnya. Dan bukan saya orangnya.

“Kamu nggak seharusnya datang ke hidup aku, mas.” perempuan itu terisak. Saya mendengar suara tangisnya yang selirih puisi patah hati.

“Kamu seharusnya nggak buat aku terpukau!” kini dia menghajar lengan kemeja saya dengan air matanya yang berderai.

Salah. Seharusnya kamu tidak perlu datang ke pentas malam puisi di kedai itu bersama kekasihmu. Seharusnya kamu bermalam minggu di tempat lain. Seharusnya saat itu saya tidak membawakan ‘Kepada Hawa’-nya Aan Mansyur. Seharusnya kamu tidak mendengar suara saya. Seharusnya kita tidak usah bertemu di kedai yang sama malam itu. Seharusnya saat itu kamu tidak sendiri dan terlihat sedih di kedai itu. Seharusnya saya diam saja di tempat saya dan tidak usah menghampirimu. Seharusnya saya tidak menanyakan nomormu. Seharusnya saya tidak mendengarmu bercerita tentang dia-mu. Seharusnya kamu tidak mendengar saya bercerita tentang hidup saya. Seharusnya kita tidak usah bertemu sama sekali. Di mana pun, kapan pun. Seharusnya tidak ada kita.

Banyak kata seharusnya menggerayangi isi kepala saya, tetapi saya tahu, kata seharusnya atau seandainya sama saja seperti kata maaf. Sia-sia. Oke, tidak ada yang sia-sia, tapi kalau memang tidak ada gunanya apa lagi bila bukan sia-sia namanya? Entahlah, lagi-lagi saya bilang, sulit mencerna akal sehat bila hati sedang runyam.

“Oke, begini, Amira, bila kamu sudah memilih dia, lupakan aku. Oke? Ini kan resiko dari hubungan kita. Kamu harus memilih salah satu.” kata saya mencoba tenang. Saya rasakan, kepalanya menggeleng di pelukan saya.

“Kamu nyuruh aku lupain kamu, mas?” dia bangkit. Rambutnya jatuh berantakan. Air mata membuat beberapa anak rambutnya menempel di wajahnya.

“Habis gimana? Kita nggak bisa nerusin ini, kamu yang bilang kan?” saya hampir emosi. Bukan, bukan pada Amira, tapi pada diri saya sendiri. Baru kali ini saya melihat Amira menangis karena saya.

“Kamu emang nggak pernah serius sama aku, mas. Pergi dari kamu aja belum tentu aku bisa, terus kamu suruh aku lupain kamu?!” suaranya meninggi. Saya memejamkan mata. Sulit melihat matanya manakala dia menangis.

“Begini Ra, dia sudah melamar kamu, dan kamu juga sudah menerimanya, kan? Dia kekasihmu yang sesungguhnya, Ra. Bukan aku, oke?” Damn! I hate myself for screaming at her. Saya tidak pernah berpikir untuk membentaknya, tapi kali ini saya melakukannya.

Dia tercenung. Kaget oleh kata-kata saya barusan. Oleh perkataan saya. Saya sendiri juga kaget, betapa saya tega membentaknya hanya karena saya sedang marah kepada diri saya sendiri. Saya marah karena seharusnya saya tidak memulai semuanya. Dan kini saya bertambah marah oleh sebab yang lain lagi; saya tlah melukainya.

“Harusnya aku udah tau dari awal. Kamu emang nggak pernah serius sama aku. Terima kasih, mas, ternyata perjuangan kamu hanya sampai sini. Aku pergi.” Amira beranjak dengan tas merah jambu yang tersampir di bahunya. Dia pergi setelah menghapus air matanya dengan tangannya sendiri. Dia pergi, dengan amarah.

Kini, kata seharusnya berceloteh lagi dalam kepala,

Seharusnya, saya yang menghapus air mata terakhir itu.

Seharusnya, saya tidak membiarkannya pergi dengan amarah.

Seharusnya, saya tidak membiarkannya pergi.

Aku tau dia yang bisa
Menjadi seperti yang engkau pinta
Namun selama napas berembus
Aku kan mencoba
Menjadi seperti yang kau minta


Amira, aku sudah bisa menjadi apa yang kau minta;
Membiarkanmu bahagia, dengan pilihanmu yang bukan aku.