Minggu, 22 Mei 2016

Bukan Puisi

Ini bukan puisi, sayang. Tetapi bila kau lebih lihai membaca buku, maka rupa-rupa di dalam dada saya adalah buku puisi yang paling kausukai. Ambil gitarmu, dan bernyanyilah tentang tubuhku. Kubiarkan dirimu menjelma kepala nahkoda kapal. Buang petamu, kau tak butuh itu untuk menaklukan samuderamu, tertanda aku.

Ini bukan kopi, sayang. Tetapi bila kau lebih menyukai kopi tanpa gula, maka rupa-rupa luka di tubuhku barangkali mampu membuatmu lupa terlelap. Seduh kopimu, dan biarkan aku melayang-layang di udara sebagai kepulan asap yang menari. Temui aku di setiap pagimu, baik yang baik maupun buruk. Bawa aku ke dalam kamarmu. Rebahkanku di sisimu, di samping kiri ranjangmu. Kecup aku sekali lagi. Teguk sampai kau merasa bahwa hari ini akan berjalan semestinya. Seolah lelahmu mati pada ciumanmu yang kali pertama kepadaku. Kutuklah dunia di sekitarmu sambil perlahan menikmati aku yang masih tenggelam di dasar cangkir kopi pagimu.

Ini bukan jendela, sayang. Tetapi bila kau lebih menyukai jendela yang luas di lantai paling atas, maka jadikan aku sebagai tempat kau melihat seluruh dunia. Menjelajahi kota masa kecilmu. Menjerajahi petualangan. Kau akan melihat gunung menjulang tinggi, sungai yang mengalir sejernih airmata bayi, dan hutan belantara yang membuat kita tersesat. Kau juga akan menemukan hangat pelukan ibumu, atau ayahmu, atau kekasih masa lalu yang kau rindukan. Di sini, padaku, kau akan melihat matahari datang dan pergi. Kau akan menyaksikan bagaimana komposisi waktu menciptakan dan melenyapkan senja kesukaanmu. Ingat-ingat…kisah siapa yang ikut dilenyapi?

Ini bukan rumah, sayang. Tetapi bila kau merindukan kampung halamanmu, datanglah kemari. Lepas penat, dan topeng yang kaukenakan seumur hidupmu. Di sini, padaku kau bisa telanjang bulat untuk benar-benar dicintai. Lupakanlah kopi yang melukai rinai lembut air di matamu. Pura-pura tenggelam dalam pahit, mematikan nalarmu untuk merasa manis, sayangku. Di sini, padaku kau tak perlu puisi, kopi, atau sebuah jendela untuk melihat dunia. Kau hanya perlu lihat ke dalam ke dalam mataku. Dan segala yang kau cari berada di sana...

Jakarta, 22 Mei

Kamis, 12 Mei 2016

Hanya Ingin Sepi

Terkadangan tak ada salahnya merayakan sepi dibalik meriahnya dunia
Setiap jiwa butuh menyepi dari keramaian
Menikmati dunia tanpa suara selain suara nafasnya sendiri
Menonton bayangan yang menghantui bersama mimpi buruk
Mencicipi getir hidup meski besok tak tahu apalagi kejutan yang datang mengetuk

Setiap orang mempunyai sisi gelap yang disimpan baik-baik dalam rupa yang tak tampak
Tak semua orang perlu tahu
Karena bersama gelap, rasa aman tersimpan baik tanpa gangguan

Sunyi, senyap, dan sepi
Perihal kotak kosong dalam hidup manusia
Merasa terasing pada pijakan sendiri
Bertahan tanpa insang di bawah samudera

Jangan pernah tanyakan, kenapa senyumku sering kupalsukan. Karena luka, telah melatihnya demikian.

Jakarta, 12 Mei



Rabu, 11 Mei 2016

Adalah Saya

Saya sering berjalan memutar menemui kesendirian. Bukan karena kesepian, tapi terkadang membutuhkan waktu untuk berkencan dengan diri sendiri yang sering terabaikan. Dalam sendiri, saya dan diri ini terasa lebih dekat. Tak ada topeng yang selama ini saya kenakan ketika berada di sekeliling orang-orang. Dalam sendiri hanya ada kejujuran. Menelanjangi bisu yang gaungnya lantang dalam hati dan pikiran.

Saya paling malas ketika ditanya soal cita-cita dan masa depan. Maka dari itu, biasanya saya tidak pernah menjawabnya. Tapi, hampir satu bulan ini saya hampir gila memikirkan masa depan. "Mau jadi apa?", "Apa iya aku berguna?", "Aku bisa apa memangnya?", dan masih banyak lagi, khawatir terlalu banyak nanti jadi buku.

Begitulah kira-kira yang menghantui kepala saya selama sebulan ini. Soal cinta hanya bagian kecil saja. Bahkan tak sampai 20%. Semua itu bikin kepala saya menjadi paling sumpek sedunia. Mulut saya jadi yang paling cerewet sedunia. Saya merasa jadi orang yang paling bodoh karena melakukan apa saja tak bisa. Soal passion. Ah! Itu apalagi. Saya bahkan tak tahu apa yang saya sukai. Tapi akhirnya saya sadar, sebenarnya yang saya jalani adalah proses, dimana saya akan menemukan siapa sebenarnya diri saya. Lucu memang, bahkan saya tidak mengenali diri saya sendiri. Bayangkan!

Saya mencari jati diri, dengan melakukan ini dan itu, dengan mempelajari ini dan itu. Banyak salahnya memang. Apalagi ketika buku-buku motivasi sudah jadi basi buat saya saat ini. Saya mencari jati diri di tumpukan buku-buku sastra. Buku-buku Agama. Ada titik cerah disana. Dimana saya tahu harus bagaimana, harus melakukan apa, untuk menjadi apa. Kini kepala saya sudah mulai kosong. Dan akan saya isi dengan hal-hal yang saya sukai. Mulut dan jari saya sudah bisu, akan berusaha berbicara jika perlu. Mata saya sebisa mungkin digunakan untuk membaca dan melihat hal-hal baik, kemarin, hari ini, dan sampai saya mati.

Entah apa yang saya tulis kali ini, bukan puisi. Hanya ingin menasehati diri, karena hidup tidak melulu cinta. Hidup harus diisi konsistensi. Mau jadi apa kedepannya dimulai dari apa yang dilakukan hari ini.

Ahh sudahlah!

Jakarta, 11 Mei

Senin, 09 Mei 2016

Nama Saya,........

Di sini, saya duduk di muka pintu,
teras di hunian saya, memandang cakrawala merah senja
semembara letupan hasrat saya semasa muda dulu.
Angin semilir-milir menyentuh tubuh saya
yang tua merenta,
menemui ingatan-ingatan lalu,

meneteslah air mata saya,
melihat diri saya kini.

Dulu saya pejuang, orang-orang mengelu-elukan saya,
menyebut diri saya; perayaan demokrasi.
Itu dulu.
Air mata kembali menetes. Membasahi kerah kemeja saya, dari kepala yang merunduk, malu.

Semasa muda, saya hidup di jalan-jalan.
Mengerubungi rezim-rezim yang menyayat kebebasan,
mengupas wajah busuk yang disimpan rapi dalam lemari penguasa,
memangkas habis jeruji-jeruji yang memenjarakan kebebasan.

Seluruh manusia di negeri tercinta, larut dalam diri saya,
menyatu dengan bara api di dada saya; sisa semangat yang kini memadam.
Bersama-sama, bermesra-mesraan saling merayakan kebebasan;
adakah yang lebih bebas daripada burung di luar sangkar? Ada. Yaitu saya, dan orang-orang yang mencintai saya.

Mereka berteriak, mereka bercerita dengan suara lantang,
mirip pidato presiden pertama kita.
Yang membara, yang meletup-letup sebuah harapan
untuk Ibu tercinta.
Ah, saya rindu…

Itu dulu. Saya beri tahu kepadamu,
itu dulu, tak lebih dari kata masa lampau.

Lalu kemudian,

tahun-tahun seperti orang-orang di senin pagi,
begitu terburu-buru beranjak.
Bekeluarga dan melahirkan masa kini, yang begitu lebih buruk daripada penjara di rezim dahulu.
Ia begitu berani meremat wajah saya yang sudah keriput dan menua ini.

Angin lebih jahat daripada suara panik orang-orang ketika rumahnya dijarah,
dirampok, suaminya ditembak, istrinya diperkosa, atau anak-anaknya ditemukan mati di jalan-jalan.
Angin sekejam Ibu kota. Ia meniupkan desas-desus tentang saya.
Saya yang tak ada dosa, dibilang dosa.
Saya yang tak berduit, dibilang kayaraya.
Saya yang ingin merayakan, dibilang ingin membunuh.
Ah, sungguh aduhai masa kini dan angin yang bersekongkol, demi membuat nama saya
lebih buruk daripada tersangka korupsi.

“Jangan kau dekati dia, dia meresahkan warga!” padahal dulu warga yang mencintai saya.
“Jangan dekati dia, dia provokator!”
“Jangan-jangan dia membayar antek-antek untuk merusuh di jalan.”

Aduhai sungguh pandai masa kini dan angin itu,
membisikkan apa yang tidak saya lakukan, demi terjaganya wajah busuk
dalam lemari penguasa.
Membuat buta orang-orang yang dulu mengelukan saya dengan pemujaan yang tak berkesudahan.

“Teriakkan kebebasan!”
“Maju terus, jangan gentar!”
“Gas air mata, peluru-peluru karet tidak akan membunuhmu!”
“Senjata-senjata api tidak seapi semangatmu, Bung!”
Ah, itu kata-kata yang dulu menyerukan nama saya.
Kata-kata api yang mampu membakar tubuh saya di jalan-jalan.

Dulu. Dulu sekali.
Jauh dari hari ini.

Jauh sebelum saya dibenci.

Ah, sampai mana tadi?
Oh, ya. Saya belum memperkenalkan diri.
Nama saya, Demonstrasi.

—-Jakarta, 09 Mei

Puisi ini untuk menggambarkan kondisi sekarang mengenai demonstrasi yang telah mengalami pergeseran makna. Demonstrasi bukan lagi sebagai toa untuk menggerakkan massa menjadi aktif dalam membongkar ketidak benaran dalam negeri ini, tetapi demonstrasi diartikan sebagai tindakan ricuh yang meresahkan masyarakat. Mengapa hal ini bisa terjadi? Tanyakan saja pada stasiun-stasiun Tv yang sering kau tonton itu.

Minggu, 08 Mei 2016

Love Me Like You Do

Seperti biasa, setiap hari aku akan menuliskanmu surat yang akan menumpuk menjadi link-link yang tak pernah kaubuka sama sekali.
Namun biarkanlah si bodoh ini tetap mengukiri aksara walau kepala rasanya pening akibat mengingatmu terlalu banyak, dan mencoba melupakanmu dengan banyak minum kopi. Oh what a fool me, melupakanmu dengan minum kopi? lol.

Belakangan ini, aku entah mengapa tergila-gila dengan lagu Love Me Like You Do-nya Ellie Goulding. Bila mendengar lagu itu pastilah tubuhku seperti kesurupan disco dancer, tangan menari-nari ke udara, tubuh berdansa mengikuti aliran tempo yang bersemangat, dan kepalaku seperti yang sudah-sudah; mengingatmu dalam ingar-bingar musik yang menyumbat telinga. Entah mengapa, setiap lirik yang kudengar bisa melayangkan ingatanku kepadamu. Setiap larik indah jatuh cinta seraya membuatku mengenangmu kembali, mengingat debar dan hangat yang sempat mampir di dadaku.

You’re the light, you’re the night
You’re the color of my blood
You’re the cure, you’re the pain
You’re the only thing I wanna touch
Never knew that it could mean so much, so much

Kau ialah cahaya, kau ialah gelap, kau ialah warna dalam darahku; merah; cinta. Ah, lirik yang merayu, berkobar-kobar dengan rasa jatuh cinta yang membara. You’re the cure, you’re the pain, kau  ialah penyembuh, dan kau juga derita yang ditawarkan sekaligus dalam satu waktu. Ironis. Dan mencintaimu sama ironisnya dengan lirik lagu ini. Ya, jatuh cinta denganmu ialah penyembuh luka masa laluku, kemudian kau menawarkan aku luka lagi. Kau obat sekaligus penyebab sakit. Ah, ironis bukan?
You’re the only thing I wanna touch, ya lebih ironis lagi ketika engkau masih satu-satunya orang yang masih ingin kusentuh, padahal seharusnya tidak. Dan aku seharusnya jangan sekali-sekali mencoba menyentuhmu. Kau duri mawar, dan aku ialah yang tak gentar ingin menggenggammu kuat-kuat.
Never knew that it could mean so much. Aku tidak pernah tahu mengapa mencintaimu bisa sedemikian berarti banyak untukku. Sedemikian gila.

You’re the fear, I don’t care
Cause I’ve never been so high
Follow me to the dark
Let me take you past our satellites
You can see the world you brought to life, to life

Kau ialah ketakutanku, di mana seharusnya cinta tidak tumbuh dariku untukmu. Cinta ini hanya benalu yang menempel pada dahan tubuhmu. Ada, dan mengganggu. I don’t care. Aku tidak peduli. Terdengar egois? Ya, memang benar adanya demikian. Aku tidak mau memunafikan diriku lebih jauh sebab aku tidak dapat membohongi diri lagi, aku tidak pernah merasa setinggi ini ketika mengenalmu. I’ve never been so high. So let me high, baby.
Follow me to the dark. Ikuti aku ke dalam gelap. Cintai aku dengan semestinya.
Let me take you past our satellites. Ayo jabat tanganku kembali, dengan belajar mencintaiku, aku akan mengajakmu keliling ruang angkasa, melalui beragam planet, rasi bintang, dan satelit-satelit di angkasa raya. Dan kau akan melihat sesuatu yang pernah kaubawa dalam hidupku; ribuan bintang, cahaya, dan matahari. Ya, seluruh keindahan angkasa raya pernah engkau bawa ke kehidupanku yang gulita. Kau bawa lagi gemerlap itu, lalu kembali pergi, kembali meninggalkan gelap..

Fading in, fading out
On the edge of paradise
Every inch of your skin is a holy grail I’ve got to find
Only you can set my heart on fire, on fire

Loving you can brought me to the edge of paradise. Mencintaimu bisa membawaku ke tepian surga duniawi. Ah, surga duniawi. Ternyata, aku bisa menemukan surga di dunia ini selain kopi dan cokelat hangat yang mampu meleburkan duka menjadi senyuman hanya dalam satu sesapan saja, yaitu engkau. Kau.
Every inch of your skin is a holy grail I’ve got to find. Gila! Setiap inci tubuhmu ialah kesucian manusiawi yang pernah kutemui. Lagu ini benar-benar penuh oleh lirik rayuan!.
But damn! The last line of those lyric; only you can set my heart on fire. Yeah, only you can set my heart on fire and burning my heart inside. Ironic. Ironic. Ironic,

Yeah, I’ll let you set the pace
Cause I’m not thinking straight
My head spinning around I can’t see clear no more
What are you waiting for?

I let you set the pace. Cause i’m not thinking straight. Ya. Aku tidak bisa berpikir waras lagi bagaimana ini bisa terjadi begitu gilanya kepadaku. Rasanya seperti mabuk kepayang! My head spinning around I can’t see clear no more.
What are you waiting for? Apa yang kau tunggu?

Love me like you do, love me like you do
Love me like you do, love me like you do
Touch me like you do, touch me like you do

love me like you do
let me be your favorite mistake

So, What are you waiting for?

Depok, 21 Desember

Demokrasi Kebablasan

Blas! Blas! Blas!

brengsek, anjing, bajingan!
itu kritik bung, bukan makian!
kritik terus pemerintahan!

Blas! Blas! Blas!
tulis berita menikam!
sebar kambing hitam!
presiden takkan naik pitam!

Blas! Blas! Blas!
fitnah, maki, sampai mati!
sampai naik gaji!
demi mendapat sesuap nasi!

Blas! Blas! Blas!
fitnah terus, pantang mundur!
kita takkan dibredel lagi!
tenang, era kita, era demokrasi kebablasan!
(Untuk media-media massa dan penulis-penulis yang mengenakan topeng demi tujuan politik, terutama untuk Jonru.)

Jakarta, Pasca Pilpres 2014

Mereka Bilang, Saya Pikir

Mereka bilang,
Mereka tiang
Pemerkasa keadilan

Saya pikir,
Pemerkasa, Pemerkosa?

Mereka koyak habis lapis-lapis
Dalam tubuh keadilan
Menodai nama sang agung

Mereka bilang,
Kebenaran dipanggul
Dua pundak mereka

Saya pikir,
Kebenaran, kemunafikan?

Mereka bungkam bibir-bibir kebenaran
Mereka beri toa pada mulut-mulut berbisa

Ah, mereka bilang
Begini, begitu
Demi mengkibar nama baik

Ah, saya pikir
Begini, begitu
Percuma busuk nama tlah tercium

Mereka bilang,
Mereka begini, begitu
Ah, saya pikir
Mereka begini, begitu

Kalibata, 18 Februari 2015
Menyinggung kebusukan di balik KPK VS POLRI yang masih sengit di layar telivisi. Mumet ndasku, bung!

Pada Petang Itu

Percakapan kita kali itu
Tak lebih seperti sepasang kekasih yang berhenti saling percaya
Seperti sepasang rekan politik yang kelak saling menikam
Kau bilang, cinta itu suatu yang statis
Tak akan berubah hingga kelak kita sama-sama beruban
Cinta, katamu, seperti bayi gemuk yang lucu dan akan selalu seperti itu
Tak pernah tahu cara bertumbuh

Aku bilang, cinta itu selalu bergerak
Seperti tanganmu yang perlahan-lahan menggenggan tanganku lalu kemudian melepasnya
Seperti bunga yang kau tanam di perkarangan rumahku
Benih mawar yang mekar di suatu hari yang cerah
Seperti aku yang kekanak-kanakan lalu mendewasa
Tapi kita sama-sama bersikeras tentang cinta
Kita sama-sama teguh atas ketidaktahuan kita
Kita begitu gemar menggenggam apa yang tak kita kenal

Petang itu, kau membuka percakapan tentang keluhan-keluhanmu yang semakin panjang
Aku membukanya dengan tingkah politisi dan perkara negara yang semakin panjang

Kau memesan teh yang terlalu manis
Aku memesan kopi yang terlalu pahit

Petang itu, bayi gemuk yang lucu mati mendadak karena penyakit yang membiarkannya tak pernah tumbuh
Dan aku lupa memberitahumu, mawar diperkarangan rumahku telah lama remuk oleh tanganku sendiri

Jakarta, 08 mei

Senin, 02 Mei 2016

Pejamlah, pejam, mata sayumu

Kutitipkan rindu pada bibirmu yang ranum,
manis oleh puisi.
Tapi rinduku itu sayang,
ialah berupa doa.

Ciumlah doa itu, sayang
serupa kaucium aroma tubuh kekasihmu.
Aku di sini jauh, hanya bisa tengadah
seraya mengucap namamu, rindu.

Pejamlah, pejam mata sayumu.
Aku begitu betah menatapnya berlama-lama dalam ingatan.
Tenang serupa laut tanpa ombak.

Pejamlah, pejam mata sayumu.
Jangan khawatir gelap mencuri cahayamu,
sebab sinar terang itu tiada mampu tersentuh kelam.

Pejamlah, pejam mata sayumu itu.
Sini, biar kubacakan dongeng;
Tentang rindu yang sebatang kara,
dan tak tahu arah mana ia akan pulang.

Pejam matamu, ialah ladang luas.
Dan aku ialah petani yang menyemai doa.
Maka tidurlah.
Jangan abai dengan tubuhmu sendiri.

Pejamlah, pejam mata sayumu.
Sini, biar kudongengkan tentang perempuan
tabah mencintai lelaki yang menaruh luka di dadanya.
Namanya, aku.

Pejamlah, pejam, mata sayumu…

Depok, 15 Desember

KOSONG

Kosong di kepala saya meluas
Menjadi semesta yang lengang oleh kata-kata
Biasanya, lalu lalang. Biasanya, ramai.
Untuk kali ini, tiada lagi yang harus berbaris

Entah. Semesta saya tak lagi ada puisi
Menguap entah ke mana selepas senja kemarin
Merupa sayup-sayup kumandang suara adzan maghrib
Sebentar, pelan, lalu tenggelam digantikan musik-musik galau

Entah. Inginnya saya selalu memuisikan rindu kepadamu
Rindu yan entah ke mana selepas senja kemarin
Senja yang merekah samar di balik punggungmu yang pergi
Tak semerekah hadirmu sebelum senja kemarin

Entah. Kepala saya kini merupa gendang tak dapat lagi ditabuh
Sebab tak akan ada suara ketika dipukulnya
Kosong. Sepi. Senyap.
Gelap-gelap merayapinya serupa lampu yang dipadamkan

Kosong. Sepi. Senyap.
Kepergianmu barangkali api yang membakar habis jerami demi sebuah jarum
Kata-kataku ialah jerami yang kaubakar
Dan jarum itu, ialah perempuan bernapas api yang kaucintai

Jakarta, 4 April

Berdo’a

langit malam legam bersama doa-doa
tanganmu menengadah ke langit, meminta pada Nya
kau percaya, Dia mendengar, Dia mengabulkan.
doamu seperti puisi yang gemetar di langit-langit

di atas sajadah, kau menemukan namanya
lindap di antara puisi-puisi yang kaurangkai itu
jauh dari pelupuk matamu,
ada yang diam-diam tersenyum; Dia, si Maha Puitis

air mata jatuh seolah mengaminkan harapanmu
turut sukacita mengingatmu mengingat-Nya.
dalam dadamu, diam-diam duka berangkat melangkahkan kaki
setelah kau lipat sajadah dan kesedihan itu

kau merasa udara segar memenuhi rongga paru-paru
dan kepalamu berubah lengang oleh suara-suara,
dan dadamu seperti jalan raya di pukul tiga;
angin bebas meriap di segala penjuru; melepas senyap, kemudian damai.

hawa sejuk menghampiri sisimu
puisi-puisi tertidur dalam kepalamu,
dan matamu kan terpejam seiring semilir cumbu udara.
legam sudah segalanya, lengang sudah, tentram jiwa.

lalu rindu-rindu akan menunggu di bawah bantalmu,
sementara mimpi telah siap jatuh di ruang imajimu.

tunggu aku.
tunggu aku.

Jakarta, 2 Mei

Penyair Patah Hati Telah Mati

seorang penyair terbenam
di bibir puisi, ia tenggelam
kesedihannya lesap oleh pasir-pasir
di matanya, sungai berhenti punya air

sepasang mata waktu berubah matahari
kering koreng di dadanya jadi kerontang
ia lupai itu nama-nama kesedihan
ia bakar sajak-sajak yang bersembunyi di dada

segelas, dua gelas cangkir kopi tiap pagi
pahit ialah kawan yang setia selain sepi
janji kedatangannya tak akan ingkar
setelah manis-manis, pahit pasti tandang

satu, dua lagu sedih ia putar ulang di benak
dikenang-kenang lah lirik-lirik picisan
lalu ia membuat puisi-puisi patah, luka
seperti ranting remuk dihantam deru angin

setiap malam tandang ke rumah,
ia selalu berada di kamar, dalam ranjang
berpeluh ke dalam jurang masa lampau
ia setubuhi kenangan hingga lelap mimpi-mimpi

semalam, ia dikabari bahwa kenangan telah mati
barangkali sebabnya, karena terlalu tua
atau terlalu lelah menjajahi tubuhnya kepada penyair itu
yang nantinya akan dijadikan puisi-puisi menyedihkan

kenangan berpulang
penyair itu tak mampu ingat apa-apa
setiap malam hanya bersulang pada sepi
berdansa dengan sunyi

hari ini, penyair tercinta kita mati
ia terbenam pada kesedihannya sendiri
lebur bersama jingga di langit senja
menemui kenangan di surga…

bernostalgi,
dan kembali.

Jakarta, 24 maret

5 tahun aku berseru dengan sepi, sejak tubuhmu dibalut kain putih....

Pujangga yang Mendiami Kepalamu

barangkali sudah lama betul
duka dan luka itu bermukim di tubuhmu
sesekali tatapmu berbicara pada kesedihanmu
kau tahu, mata serupa anak kecil yang tak pandai menipu

kadangkala tubuhmu seperti buku puisi
ditulisnya kata-kata yang terluka
di tubuh kertas yang tak punya dosa apa-apa
lalu di pelupuk matamu, tumbuh sungai

kemudian suatu hari nanti
kau akan menemui dirimu sendiri
dalam sajak-sajak patah hati
yang kautulis jauh-jauh hari

lalu kau akan terpingkal
sungai itu tumbuh lagi di matamu
sebagai pelepas dahaga sepi-sepi itu
kau ingat-ingat lagi, betapa luka begitu puisi, begitu sendu

kau tak pernah bangun dari mimpi ini;
di dalam kepalamu hidup seorang pujangga
yang sebatang kara, berkarib sepi dan kopi
berkali-kali patah hati, lalu pergi memeluk diri—dengan kata-kata

rahasia yang tak pernah kauketahui;
pujangga itu menikahi kesedihannya
dan puisi-puisi lahir dari rahim waktu;
membuat kau lupa, bagaimana wujud kesedihanmu

suatu hari nanti, aku tak tahu kapankah,
pujangga itu akan mati
dimakamkan tanpa bunga-bunga
hanya ada hampa…dan kau tak tahu itu. kau tak tahu.

Jakarta, 15 Maret

Luka Sepanjang Rel Kereta Api

barangkali hidup ialah semacam tiket keberangkatan,
menuju entah suka atau duka,
barangkali hidup seperti kereta api,
kita; memesan tujuan menuju bahagia atau kesedihan.

hidup itu sebuah perjalanan, kata seorang buta.
entah, dia harus bersyukur atau menyumpah-serapah,
karena yang ia tahu hanya angin dan bau anyir,
ia tidak akan melihat kenangan-kenangan yang diberikan perjalanan. itulah sebab dia mestinya bersyukur.

kadangkala, melihat kenangan sama saja menyayat matamu dengan belati,
luka dimana-mana, darah bersimbah-simbah,
yang kita tahu; waktu tidak akan mampu menghapus sejarah,
pun sebuah tujuan.

kenangan akan abadi dalam ingatan,
disimpan pada sebuah memoar panjang.

luka itu memanjang, di sepanjang rel kereta api, kata gadis itu.
di sisi kanan-kiri rel tiada mawar mekar, atau aliran sungai jernih yang menyejukkan mata,
tiap ia melihat mawar, yang ia ingat hanyalah darah yang pernah melukai jari-jemarinya
tiap kali ia melihat sungai, yang ia ingat hanyalah warna merah yang pernah menghanyutkan darah-darah orang tak bersalah.

kadang, luka bisa lebih panjang daripada rel kereta api.
sisi kanan-kiri ialah kenangan, yang ingin dilupakan.
sisi kanan-kiri ialah sungai, yang seperti air matanya.
seperti langit malam yang tabah menunggu kematiannya.

Jakarta, 3 Maret