Sabtu, 17 September 2016

September Yang Sibuk Memuisikan Rindu

September sibuk memuisikan rindu
Setelah Agustus pergi menyisakan sendu
Tangis, sedu-sedan sepasang kekasih yang saling meninggalkan
Ketika tatap dan ratapan tiada lagi berarti tuk bertahan

Belasan koper pembawa kenang tlah dilarungkan jauh-jauh
Menepikan ingatan-ingatan yang lalang di dua kepala
Percuma, kenangan itu ternyata tertanam dalam-dalam meski raga kian menjauh
Meski lipatan waktu kini terentang untuk saling melupa

Dua kota di kepala yang berbeda, terkadang masih riuh oleh kenangan
Saat malam menjelang, ingatan serupa lalu lintas yang padat lalu lalang
Saat pagi datang, mimpi semalam merupa lembar buram kenang dan harapan
Apalagi ketika rintik hujan memenuhi gendang tipis di telinga, bersenandung

Bayang tubuh laki-laki yang ia cintai menjelma hujan di kota pikirannya
Rindu menembus ulu hati dengan anak panah seruncing kata perpisahan
Di kepala lelakinya, bayang perempuan yang pernah ia cintai, lenyap menjadi kemarau di kotanya
Baginya, musim hujan telah berakhir digantikan musim yang lain

Tetapi dua rindu, semakin hari, semakin tinggi berterbangan ke udara
Ke langit September yang terkadang mendung abu-abu
Sementara dua hati saling melupakan, September sibuk menyusun aksara
Lewat hujan yang turun dari tanggal satu hingga tiga puluh satu

Sesibuk itu September memuisikan rindu

Kepada September Yang Sibuk Memuisikan Rindu,
Akulah Perempuan yang mengerami hujan di kepalaku
Pemilik sayap-sayap rindu yang berterbangan ke langitmu
Perenggut cahaya kuning matahari dan mengubahnya jadi abu-abu

Akulah yang kerap berdoa agar langitmu mendung abu-abu
Sebab lelaki yang kucintai itu mencintai warna abu-abu
Akulah yang memohon hujan kepadamu
Sebab lelaki yang kucintai itu gemar minum kopi sambil mendengar suara hujan yang merdu

Sebab mendung dan hujan pernah mempertemukan kami
Sebab abu-abu dan aroma hujan ialah kenangan paling manis di kisah kami
Sebab aku berharap, hujan yang tumpah, akan mengingatkannya tentang aku
Sebab aku berdoa agar hujan membuatnya rindu padaku

September masih sibuk memuisikan rindu
Sebelum lewat tanggal tiga puluh satu
Hujan serupa celotehan masa lalu
Yang berpuisi dengan sendu

Stasiun Universitas Indonesia, 17 September 2016
Di luar tidak hujan, tapi di kepalaku sedang deras
Oleh ingatan tentang kamu.
Di sini, di stasiun universitas indonesia.
Setahun lalu.

Ini Apa?

Saya bingung harus dari mana puisi ini bermula.
Ini puisi? Oh ya, tentu saja.
Puisi yang tadinya ingin mengajak perasaanku turut serta.
Namun nampaknya, ia kelelahan sendiri telah menunggu berhari-hari.

Apa yang ditunggu? Saya juga entah tidak tahu.
Setidak tahu, apakah ini sebuah puisi? Tidak tahu. Mungkin. Ya, tentu saja.

Semrawut, Jon! Kepalaku semrawut!
Riuh bergemuruh ramai celoteh-celoteh suaramu yang kuhapal.
Serapal do’a yang kau bisikkan ke langit; tentang jadikanlah dia putri hujan supaya turun membasuh tubuhmu.
Kau ingat dia? Iya, dia. Bukan saya, yang jelas.

Ini puisi macam apa? Kata saya, saya bingung. Ini puisi? Ya tentu saja.

Hanya saja apa puisi semenyebalkan ini? Setidakjelas ini?
Ya, kadang-kadang begitu. Biasakanlah.

Penyair kadang tak selalu romantis
Penyair kadang tak selalu sendu biru sebiru kertas warna bocah-bocah TK yang dijadikannya ontang-anting.
Penyair juga terkadang tak semerah muda bulan februari.
Penyair kadang memiliki fantasi gilanya; menulis apa saja yang dirasa pantas.

Abstrak. Tidak jelas. Penuh sampah. Coret sana. Coret sini. Buang.

Ya, penyair kadang seperti itu.

Kau bertanya mengapa? Entah, aku bukan seorang penyair. Bukan juga pujangga.

Aku hanya perempuan yang lagi tak waras isi kepalanya. Bagaimana bisa dikatakan waras, apabila kepalaku saja tertawa sendiri, gaduh sendiri, menangis sendiri? Kau, iya kau. Sedang apa di dalam sana? Hei! Kembali! Kembali! HEI!

Siapa kau?
Siapa? Hah? Aku tidak mengenalmu?
Apa kita dua orang asing? AH…

Bukan?

Lalu kau siapa?
Hah?

Ini puisi?
Bukan. Bukan, tentu saja.

Depok, 17 September 2016

Puisi yang Tak Pernah Kautulis

Puisi yang tak pernah kautulis
Ialah aksara paling merindu
Memintal luka sendiri berpura tersenyum manis
Matanya lebam oleh air mata sebab disesaki sendu

Puisi yang tak pernah kautulis
Ialah kata yang berharap lebur
Pada ingatanmu sebagai bayang yang tak pernah kabur
Dan tak pernah lelah tenggelam dalam tangis

Puisi yang tak pernah kautulis
Ialah suara paling senyap sepi sedu sedan
Menanam luka lewat puisi dua baris
Tanpa terdengar ingar di telingamu, Tuan

Puisi yang tak pernah kautulis
Sepi mengeja tubuh milik sendiri
Desau angin turut coba meramaikan tangis
Menggigilkan sepi sampai mati

Puisi yang tak pernah kautulis
Ialah aku
Yang mengenangmu dengan manis dan tangis
Itu aku

Jakarta, 15 September 2016

Di sini gelap,
Gelap ialah candu
Dalam senyap
Kau ialah yang tak lepas membuatku jatuh

Sebuah Kota di Sepasang Matamu

suatu hari aku pernah mengunjungi sebuah kota
tidak ada yang bisa kulihat di sana selain sepi
duka, dan hal-hal lain yang berupa kesedihan
tidak ada yang bisa kudengar kecuali hening yang menyayat batin

kota itu mirip matamu;
sepasang matahari yang terbit di wajahmu
di bulan juni, di musim hujan
dan kabut-kabut tipis menghalau hangatnya

di sana, aku seorang pengunjung
duduk di sudut taman tanpa seorang kawan
untungnya aku masih mampu bercakap-cakap
dengan kesepian dan secangkir kopi

lampu-lampu berpendaran kala malam datang
sering kulihat seorang perempuan melintas berkali-kali
tapi bukan tubuhku
tubuhku hanya pengunjung yang tak punya tempat tinggal

perempuan itu berlarian kesana – kemari
mirip burung-burung pengantar surat atau angin
perempuan itu lalu lalang tapi tak sendiri, sepertiku
ia bergerombol bersama puisi-puisi yang memiliki mata sendu

kota itu hidup pukul tujuh pagi
aroma kopi dan perempuan yang sering melintas menguarkan wanginya
dan kota itu tutup saat tengah malam atau pukul tiga
puisi dan perempuan itu ialah yang terakhir berada di kota itu

dan aku hanya pejalan kaki yang tersesat
bermimpi punya bangunan yang kusebut rumah
membunuh perempuan yang seringkali melintas itu suatu waktu
sebelum kucuri kesepian itu seluruhnya

kota itu mirip matamu
dan aku sedang berkunjung ke dalam matamu
bercita-cita suatu hari bisa bermukim di sana
tanpa sepi, dan perempuan itu

- Wid
Depok, 17 September 2016