suatu hari aku pernah mengunjungi sebuah kota
tidak ada yang bisa kulihat di sana selain sepi
duka, dan hal-hal lain yang berupa kesedihan
tidak ada yang bisa kudengar kecuali hening yang menyayat batin
kota itu mirip matamu;
sepasang matahari yang terbit di wajahmu
di bulan juni, di musim hujan
dan kabut-kabut tipis menghalau hangatnya
di sana, aku seorang pengunjung
duduk di sudut taman tanpa seorang kawan
untungnya aku masih mampu bercakap-cakap
dengan kesepian dan secangkir kopi
lampu-lampu berpendaran kala malam datang
sering kulihat seorang perempuan melintas berkali-kali
tapi bukan tubuhku
tubuhku hanya pengunjung yang tak punya tempat tinggal
perempuan itu berlarian kesana – kemari
mirip burung-burung pengantar surat atau angin
perempuan itu lalu lalang tapi tak sendiri, sepertiku
ia bergerombol bersama puisi-puisi yang memiliki mata sendu
kota itu hidup pukul tujuh pagi
aroma kopi dan perempuan yang sering melintas menguarkan wanginya
dan kota itu tutup saat tengah malam atau pukul tiga
puisi dan perempuan itu ialah yang terakhir berada di kota itu
dan aku hanya pejalan kaki yang tersesat
bermimpi punya bangunan yang kusebut rumah
membunuh perempuan yang seringkali melintas itu suatu waktu
sebelum kucuri kesepian itu seluruhnya
kota itu mirip matamu
dan aku sedang berkunjung ke dalam matamu
bercita-cita suatu hari bisa bermukim di sana
tanpa sepi, dan perempuan itu
- Wid
Depok, 17 September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar