Senin, 25 Juli 2016

Tentang Kita

Dalam lamunan aku terisak sepi
Berjejalan di dalam sini bagaimana cerita kita bermula
Cerita yang seringkali kaulupa perihal mengapa kisah ini ada
Seringkali kaulupa jumlah tawa juga angka tangisan kita

Ketika rajutan kata perpisahan itu selesai
Kau rangkai, selimutilah aku dengan itu
Sebab hangat merupa air mata di balik untaian kata
Serangkaian ucapan selamat tinggal yang haru

Berikutnya, kisah ini menjelma raga-raga yang tak nyata
Waktu-waktu yang berjalan mundur ke belakang
Barangkali sebagai pengingat, bahwa pernah ada kita
Walau hanya di batas garis temu-dan-pisah, tinggal-dan-pergi

Semua tentang kita barangkali kini tlah terbaring
Di suatu tanah merah yang lapang menyimpan kenang
Mengubur suara tawa yang disirami air mata kepedihan
Menisankan huruf-huruf yang membentuk nama masa lalu

Kau petik gitarmu tuk terakhir kali
Aku mengingatnya sebagai melodi patah hati
Di mana kau lantunkan kegetiran juga sunyi yang melatari
Di mana ucapan selamat tinggal terdengar lebih suci

Dalam lamunan aku terisak sepi
Berjejalan di dalam sini bagaimana kita memaknai hadir-dan-pergi
Hal yang seringkali kita lupa bahwa yang hidup pasti akan mati
Dan kisah kita, katamu, hanya sampai di sini

( DW, Jakarta 25 Juli 2016 )

Rabu, 20 Juli 2016

Rindu dini hari

Kini, aku menjelma sesuatu yang lucu
Ingatlah lagi, bukankah aku yang memintamu melupakan aku?
Aku yang memaksamu menjauh dariku

Kasih, kini sajakku riuh
Karena rindu yang semakin keruh
Aku hanya ingin lupa, sayang
Hanya saja aku lupa bagaimana caranya untuk lupa

Lihatlah sepagi ini aku merindukanmu
Kali ini, aku terdiam mengeja setiap aksara dilembar kenangan
Memastikan di deretan abjad yang kutuliskan, tak ada lagi luka yang tersimpan

- Wid
Jakarta, 21 Juli 2016

"Kita pernah berada pada satu ruang. Tertawa bersama. Tak peduli pada tatapan orang.
Kini kita ada pada ruangan berbeda dengan tawa yang tak lagi sama"

Kamis, 07 Juli 2016

Semestaku Semestamu

kukemas semua barang-barangku yang tertinggal di kepalamu.
kubersihkan segala sisa aromaku di indera penciumanmu.
kukarungkan sisa peluh, dan hangat tubuhku yang pernah menempel di tubuhmu
kuambil kembali satu-per-satu jiwaku di dadamu.

bersiap menyusun kembali tubuhku sendiri. raga dan jiwaku.
lalu pergi dari semestamu.
kau yang memintaku begitu kan?

buntalan berisi kenangan kita tlah kupikul sendiri di bahu kiri.
kau hanya menatap punggungku yang pergi

kemudian masuk kembali tanpa memanggilku untuk memintaku kembali ke semestamu.

kau teralu sibuk dan tengah bersiap merapikan semesta mu tuk kedatangan perempuanmu yang baru.

kau menyingkirkan sisa-sisa aku di semestamu.

aku masih melangkahkan kakiku sempoyongan,
agar menjauh pergi darimu

tubuhmu
kepalamu
aromamu
kenangan kita
segalanya aku bawa,

kupikul di bahu kiri
membawa serta kita yang tiada lagi

kini hanya ada aku yang sedang menyusun kembali semestaku sendiri
semesta yang kini hanya berisi huruf-huruf puitis tentang kita yang mati

tanpa ragamu.

selamat datang, di semestaku.
berisi puisi picisan, tentang kau.

tentang kita.
yang kini hanya tinggal kata-kata.

Jakarta, 28 April 2016

Sabtu, 02 Juli 2016

Hujan yang Turun dari Kepalaku

sebuah dunia pernah tinggal di kepalaku, bibirnya seperti organ baru dalam tubuhku. dunia itu menurunkan musim, yang menentukan cuaca apa yang sedang digenggam oleh dadaku. seperti sebuah pesta semesta dalam tubuh perempuan. serangga-serangga membuat tarian, menjalari lambungku hingga aku bergidik geli. hawa matahari pagi pindah ke dalamku. dunia seakan-akan sedang mempermainkan opera di dalam seorang perempuan. gigil pagi seperti dingin yang pernah kurasakan lewat tenggorokanku ketika cairan kopi yang sudah lama terseduh menjalari lorong gelap dalam tubuhku. mereka bilang aku terjatuh, tapi kakiku tak menjejaki tanah. ada yang janggal ketika mereka melanjutkan kata-katanya dengan cinta. aku, jatuh cinta, katanya. benar? bila benar aku terjatuh, aku lebih merasa bila tubuhku sedang jatuh di langit.

aku hanya seperti tubuh yang diisi oleh kembang api. bisa meledak kapan saja tanpa meruntuhkan dunia yang tinggal dalam diriku. tapi dunia pasti terus berputar seperti roda yang dipasang di belakang bokong kuda. tiba-tiba saja dunia dalam diriku lepas dari porosnya, menggelinding entah kemana. aku bingung, dan hendak bertanya kepada langit yang berada di atas kepalaku, atau di bawah kakiku, benarkah dunia berputar? mengapa ia hilang? mereka bilang, aku hanya sedang patah. bagaimana bisa? tubuhku tidak terbagi dua, hanya saja seperti ada lubang yang mulai hinggap di dadaku, seperti tahi burung yang tiba-tiba jatuh di atas kepalamu ketika sedang berada di bawah rindangnya pohon. lubang itu, mengeluarkan air. semburan airnya membanjiri tubuhku hampir sedadaku. dadaku bisa mati tenggelam, sebab ia tak pandai berenang.

kepalaku seperti menjelma langit yang mendung. awan-awan berarak-arakan menuju mataku, dan petir menggelegar dari dalam telingaku. apa yang dititipkan hidup kepadaku kali ini? sebuah langit? namun aku mendengar suara hujan dari dalam dadaku. rintiknya halus bagai butiran garam di dapur ibu. ini sebuah musim, pikirku. kini aku hampir menyelesaikan sebuah teka-teki yang menyusun tubuhku dengan pertanyaan. kiranya begini, sebuah dunia, yang kemarin berada di dalam diriku, kini sudah runtuh. lepas dari porosnya, entah menggelinding ke mana, berputar ke mana. tapi musim di dadaku tak pernah meninggalkanku. sebuah dunia itu, telah meninggalkan musim hujan di dadaku, dan langit mendung, di kepalaku.

Depok, 28 Agustus 2015

Langit yang Tak Pernah Terjangkau

waktu berlarian kemudian bercakap-cakap dengan kesepian
lalu kau berada di sana sebagai kabut yang tipis
ada tetapi tak terlihat mata
kau lah yang mereka percakapkan

kau adalah rahasia yang tak dimiliki sepasang mataku
bahasa yang diam seperti keheningan yang sering kau lalui
senyumanmu, kau tahu, ialah dosa-dosa yang kusembunyikan
dalam diriku, kau adalah langit yang tak terjangkau jemariku

tubuh-tubuhmu seperti senja di puncak munara
dan aku pendaki yang kelelahan menanjak
takut maut tiba-tiba datang menawarkan jalan yang lain
yang lebih lengang tenang tanpa terjal

bibirmu merah muda selembut warna langit saat fajar tiba
dan aku adalah manusia yang sering bangun kesiangan
melewatimu sambil merutuki diri sendiri
dan menikmati kopi yang tak semanis lengkung sabitmu

kau adalah buku puisi yang ada di rak-rak toko buku
membacamu sepintas takkan pernah membuatku merasa cukup
memindahkanmu seluruhnya ke dalam kepalaku, ingatanku, dan ruang tidurku,
aku tidak mampu

seandainya aku memiliki cukup keberanian
aku ingin meminta menjadi seekor kupu-kupu
yang bisa mengepakkan sayap kepadamu;
langit yang tak pernah mampu terjangkau jemariku

seandainya aku memiliki cukup nyali
aku ingin menjadi pendaki yang sampai di puncak
menatap keindahanmu banyak-banyak
dan bangun lebih pagi, demi sabit di bibirmu

dan waktu masih bercakap-cakap dengan kesepian
lalu aku, masih seseorang yang memandangi langit yang tak pernah terjangkau jemariku.

—END

Jakarta, 25 Juni 2016

Menonton Puisi Berbicara

lampu berkelipan di matamu,
ia bercakap-cakap dengan kesepianmu
yang tak pernah terlihat siapa pun kecuali aku
dan kau tak pernah mengakui, duka seperti apa yang tinggal dalam dadamu.

bibirmu berceloteh seakan-akan ingkar pada kesedihanmu
kakimu menjejak tegas pada tubuh panggung yang kau injak-injak
sandiwara dan topeng tidak pernah lepas dari tubuh dan wajahmu
tapi di sana bukan berupa dusta. kau hanya mengingkari dirimu sendiri.

cermin itu retak ketika kau berkaca.
ia marah, tak lagi mengenali wajahmu yang kini asing.
tapi kau bisa berkaca di mataku,
satu-satunya tempat kau bisa menjelma siapa saja.

kau masih berbicara ketika tubuhku sudah hampir tenggelam
dalam buai suaramu yang laut. suara yang tak pernah terekam dalam ponsel atau kenangan.
kau masih di sana, di atas panggung sambil menggenggam pesonamu
ketika aku duduk di kursi penonton. mencari-cari yang hilang di matamu;

aku.

kesedihan dan kesepian itu.

yang kauingkari. berkali-kali.

Jakarta, 20 Juni 2016

Sepi yang Bermukim di Matamu

hening berjatuhan dari bibirmu
seolah hujan sedang mendiami suatu kota
untuk kemudian pergi
dan meninggalkan jejak-jejak kenangan

bunga yang bermekaran di dadamu itu
bukan mawar, ataupun melati
di sana tumbuh kembang perasaan
yang kaupetik bukan untukku

tangan kurusmu yang seperti batang bambu
sebab keteduhan berasal dari sana
sedang menjulur kepada seorang wanita
yang menawarimu sekuntum luka; sebagai imbalan atas kembang yang kaupetik untuknya

seperti puisi yang ditukar kesedihan
sekuntum kembangmu layu disiram matahari musim kemarau
kian lama, kian meranggas satu-satu
lalu mati kering sukarela di tanah pecah-pecah

jari-jarimu kemudian seperti seorang ibu
yang melahirkan puisi-puisi patah hati
matamu kemudian seperti tanah lapang;
kosong, tak menyisakan apa-apa kecuali sepi

lalu sepi bermukim di matamu
ibarat sebuah kota dihuni seorang saja
yang merayakan hidup sendirian
yang menangisi kesedihannya sebatang kara

dan aku masih seperti sedia kala
sebelum sepi menghuni matamu
menjadi seekor kupu-kupu
yang tinggal dalam dadamu

menanti kembang itu mekar
sekali lagi.

—END

Depok, 16 Agustus 2015

Berlayar di Keheningan Malam

angin memetik bintang di matamu,
kerlip-kerlipnya mencintaiku
sepasang bintang berkecipak di langit malam
aku nelayan yang disesatkan laut gelap hamparan hitam

kabut-kabut tipis beterbangan
berusaha mencapai ketinggian langit
mirip seperti harapan, yang mencoba mengejar
doa-doa yang kauhembus ke udara

aroma-aroma yang kuhirup ini,
ialah sisa-sisa hujan bulan november
begitu hening, begitu sepi, begitu sedih
air mata yang diteteskan ke tubuhmu yang tanah

aku tenang.

kau tak begitu tahu aku,
dalam gelap, cemasku terlelap
diganti suara-suara senyap yang memanggil kenanganmu
dan aku akan memagut bulan

dengan mesranya.

ingin kuhirup wangi udara di tubuhmu,
atau aroma yang dimiliki bulan,
apakah mawar, atau bau belantara hutan hujan
biar, biar aku mendayung lebih jauh lagi

ingin kugetarkan langit, kubelah
dengan lidahku
aku hanya ingin merasai bulan
menyedot heningnya malam, ke dalam tubuhku

segalanya. semuanya.

ketika kau membaca ini, kasih,
aku sedang berlayar di keheningan malam,
merindu,
bulan.

—END—

Depok, 01 Agustus 2015

p.s :

dan jika tanya terbit di kepalamu : mengapa kata bulan selalu direpetisi?
karena…

“hanya ada bulan di sajakku, sebab ketika aku memikirkanmu, kata-kata yang lain meninggalkanku.”