hening berjatuhan dari bibirmu
seolah hujan sedang mendiami suatu kota
untuk kemudian pergi
dan meninggalkan jejak-jejak kenangan
bunga yang bermekaran di dadamu itu
bukan mawar, ataupun melati
di sana tumbuh kembang perasaan
yang kaupetik bukan untukku
tangan kurusmu yang seperti batang bambu
sebab keteduhan berasal dari sana
sedang menjulur kepada seorang wanita
yang menawarimu sekuntum luka; sebagai imbalan atas kembang yang kaupetik untuknya
seperti puisi yang ditukar kesedihan
sekuntum kembangmu layu disiram matahari musim kemarau
kian lama, kian meranggas satu-satu
lalu mati kering sukarela di tanah pecah-pecah
jari-jarimu kemudian seperti seorang ibu
yang melahirkan puisi-puisi patah hati
matamu kemudian seperti tanah lapang;
kosong, tak menyisakan apa-apa kecuali sepi
lalu sepi bermukim di matamu
ibarat sebuah kota dihuni seorang saja
yang merayakan hidup sendirian
yang menangisi kesedihannya sebatang kara
dan aku masih seperti sedia kala
sebelum sepi menghuni matamu
menjadi seekor kupu-kupu
yang tinggal dalam dadamu
menanti kembang itu mekar
sekali lagi.
—END
Depok, 16 Agustus 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar