Sabtu, 02 Juli 2016

Langit yang Tak Pernah Terjangkau

waktu berlarian kemudian bercakap-cakap dengan kesepian
lalu kau berada di sana sebagai kabut yang tipis
ada tetapi tak terlihat mata
kau lah yang mereka percakapkan

kau adalah rahasia yang tak dimiliki sepasang mataku
bahasa yang diam seperti keheningan yang sering kau lalui
senyumanmu, kau tahu, ialah dosa-dosa yang kusembunyikan
dalam diriku, kau adalah langit yang tak terjangkau jemariku

tubuh-tubuhmu seperti senja di puncak munara
dan aku pendaki yang kelelahan menanjak
takut maut tiba-tiba datang menawarkan jalan yang lain
yang lebih lengang tenang tanpa terjal

bibirmu merah muda selembut warna langit saat fajar tiba
dan aku adalah manusia yang sering bangun kesiangan
melewatimu sambil merutuki diri sendiri
dan menikmati kopi yang tak semanis lengkung sabitmu

kau adalah buku puisi yang ada di rak-rak toko buku
membacamu sepintas takkan pernah membuatku merasa cukup
memindahkanmu seluruhnya ke dalam kepalaku, ingatanku, dan ruang tidurku,
aku tidak mampu

seandainya aku memiliki cukup keberanian
aku ingin meminta menjadi seekor kupu-kupu
yang bisa mengepakkan sayap kepadamu;
langit yang tak pernah mampu terjangkau jemariku

seandainya aku memiliki cukup nyali
aku ingin menjadi pendaki yang sampai di puncak
menatap keindahanmu banyak-banyak
dan bangun lebih pagi, demi sabit di bibirmu

dan waktu masih bercakap-cakap dengan kesepian
lalu aku, masih seseorang yang memandangi langit yang tak pernah terjangkau jemariku.

—END

Jakarta, 25 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar