Senin, 09 Mei 2016

Nama Saya,........

Di sini, saya duduk di muka pintu,
teras di hunian saya, memandang cakrawala merah senja
semembara letupan hasrat saya semasa muda dulu.
Angin semilir-milir menyentuh tubuh saya
yang tua merenta,
menemui ingatan-ingatan lalu,

meneteslah air mata saya,
melihat diri saya kini.

Dulu saya pejuang, orang-orang mengelu-elukan saya,
menyebut diri saya; perayaan demokrasi.
Itu dulu.
Air mata kembali menetes. Membasahi kerah kemeja saya, dari kepala yang merunduk, malu.

Semasa muda, saya hidup di jalan-jalan.
Mengerubungi rezim-rezim yang menyayat kebebasan,
mengupas wajah busuk yang disimpan rapi dalam lemari penguasa,
memangkas habis jeruji-jeruji yang memenjarakan kebebasan.

Seluruh manusia di negeri tercinta, larut dalam diri saya,
menyatu dengan bara api di dada saya; sisa semangat yang kini memadam.
Bersama-sama, bermesra-mesraan saling merayakan kebebasan;
adakah yang lebih bebas daripada burung di luar sangkar? Ada. Yaitu saya, dan orang-orang yang mencintai saya.

Mereka berteriak, mereka bercerita dengan suara lantang,
mirip pidato presiden pertama kita.
Yang membara, yang meletup-letup sebuah harapan
untuk Ibu tercinta.
Ah, saya rindu…

Itu dulu. Saya beri tahu kepadamu,
itu dulu, tak lebih dari kata masa lampau.

Lalu kemudian,

tahun-tahun seperti orang-orang di senin pagi,
begitu terburu-buru beranjak.
Bekeluarga dan melahirkan masa kini, yang begitu lebih buruk daripada penjara di rezim dahulu.
Ia begitu berani meremat wajah saya yang sudah keriput dan menua ini.

Angin lebih jahat daripada suara panik orang-orang ketika rumahnya dijarah,
dirampok, suaminya ditembak, istrinya diperkosa, atau anak-anaknya ditemukan mati di jalan-jalan.
Angin sekejam Ibu kota. Ia meniupkan desas-desus tentang saya.
Saya yang tak ada dosa, dibilang dosa.
Saya yang tak berduit, dibilang kayaraya.
Saya yang ingin merayakan, dibilang ingin membunuh.
Ah, sungguh aduhai masa kini dan angin yang bersekongkol, demi membuat nama saya
lebih buruk daripada tersangka korupsi.

“Jangan kau dekati dia, dia meresahkan warga!” padahal dulu warga yang mencintai saya.
“Jangan dekati dia, dia provokator!”
“Jangan-jangan dia membayar antek-antek untuk merusuh di jalan.”

Aduhai sungguh pandai masa kini dan angin itu,
membisikkan apa yang tidak saya lakukan, demi terjaganya wajah busuk
dalam lemari penguasa.
Membuat buta orang-orang yang dulu mengelukan saya dengan pemujaan yang tak berkesudahan.

“Teriakkan kebebasan!”
“Maju terus, jangan gentar!”
“Gas air mata, peluru-peluru karet tidak akan membunuhmu!”
“Senjata-senjata api tidak seapi semangatmu, Bung!”
Ah, itu kata-kata yang dulu menyerukan nama saya.
Kata-kata api yang mampu membakar tubuh saya di jalan-jalan.

Dulu. Dulu sekali.
Jauh dari hari ini.

Jauh sebelum saya dibenci.

Ah, sampai mana tadi?
Oh, ya. Saya belum memperkenalkan diri.
Nama saya, Demonstrasi.

—-Jakarta, 09 Mei

Puisi ini untuk menggambarkan kondisi sekarang mengenai demonstrasi yang telah mengalami pergeseran makna. Demonstrasi bukan lagi sebagai toa untuk menggerakkan massa menjadi aktif dalam membongkar ketidak benaran dalam negeri ini, tetapi demonstrasi diartikan sebagai tindakan ricuh yang meresahkan masyarakat. Mengapa hal ini bisa terjadi? Tanyakan saja pada stasiun-stasiun Tv yang sering kau tonton itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar