Senin, 02 Mei 2016

Luka Sepanjang Rel Kereta Api

barangkali hidup ialah semacam tiket keberangkatan,
menuju entah suka atau duka,
barangkali hidup seperti kereta api,
kita; memesan tujuan menuju bahagia atau kesedihan.

hidup itu sebuah perjalanan, kata seorang buta.
entah, dia harus bersyukur atau menyumpah-serapah,
karena yang ia tahu hanya angin dan bau anyir,
ia tidak akan melihat kenangan-kenangan yang diberikan perjalanan. itulah sebab dia mestinya bersyukur.

kadangkala, melihat kenangan sama saja menyayat matamu dengan belati,
luka dimana-mana, darah bersimbah-simbah,
yang kita tahu; waktu tidak akan mampu menghapus sejarah,
pun sebuah tujuan.

kenangan akan abadi dalam ingatan,
disimpan pada sebuah memoar panjang.

luka itu memanjang, di sepanjang rel kereta api, kata gadis itu.
di sisi kanan-kiri rel tiada mawar mekar, atau aliran sungai jernih yang menyejukkan mata,
tiap ia melihat mawar, yang ia ingat hanyalah darah yang pernah melukai jari-jemarinya
tiap kali ia melihat sungai, yang ia ingat hanyalah warna merah yang pernah menghanyutkan darah-darah orang tak bersalah.

kadang, luka bisa lebih panjang daripada rel kereta api.
sisi kanan-kiri ialah kenangan, yang ingin dilupakan.
sisi kanan-kiri ialah sungai, yang seperti air matanya.
seperti langit malam yang tabah menunggu kematiannya.

Jakarta, 3 Maret

Tidak ada komentar:

Posting Komentar