Minggu, 28 Agustus 2016

Kesalahan Yang Tak Seharusnya

Saya tahu ini salah, tapi bagaimana? Memang siapa yang bisa mengontrol hati manusia kecuali Tuhan? Bahkan kita pun, sejujurnya tidak dapat mengontrol hati kita sendiri. Oke, oke, saya di sini bukan untuk ceramah, apa lagi mengeluh, saya hanya heran pada diri saya sendiri. Mengapa semua ini saya lakukan, padahal saya tahu ini salah? Nah, itu adalah pertanyaan personal kepada dalam nurani saya. Ah, apakah kesederhanaan cinta bisa merumitkan hidup? Atau kesederhanaan hidup adalah kerumitan itu sendiri? Sudahlah, bila sedang kacau begini, saya sulit berpikir jernih.

“Jadi, bagaimana?” tanyanya bingung sambil memainkan lengan kemeja saya.

“Entahlah, Ra.” saya menggelengkan kepala, pening.

“Memang kamu rela?” tanyanya lagi, kali ini ia memeluk lengan saya.

“Kamu tidak perlu bertanya jawabannya. Kamu sudah tahu.” jawab saya kalem.

“Mana mungkin aku tahu kalau kamu nggak kasih tahu, memangnya aku paranormal?!” sungutnya. Saya mengusap kepalanya pelan. Perempuan ini begitu lucu bila sedang marah atau ngedumel seperti sekarang ini.

Saya diam sejenak. Menarik napas dalam-dalam. Sungguh pelik, dan juga rumit. Saya tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Saya tidak pernah mengharapkan ini. Perpisahan. Tidak ada yang mengharapkan perpisahan, kecuali mempersiapkan. Sedikit-banyak orang barangkali pernah mempersiapkan perpisahan untuk suatu hubungan yang bersifat sementara atau hubungan berisiko, tapi bodohnya, saya tidak melakukannya. Saya belum siap, padahal tahu kalau hal ini akan terjadi nanti sewaktu-waktu. Dan inilah waktunya.

“Ra, maaf.” kata saya. Dia sedang rebah di bahu saya, saya tahu berat untuk perempuan ini mengatakan hal yang sejujurnya. Tapi apa daya? Saya tahu dia kebingungan, saya tahu dia tidak bermaksud melukai saya.

“Bukan kamu mas yang harus minta maaf. Tapi aku,” dia kembali mendekap erat lengan saya, mungkin untuk kali terakhir.

Saya tersenyum. Bagaimana pun tempat saya bukan di sini. Saya tak seharusnya lancang mengetuk pintu hatinya, dan seharusnya, dia juga tidak membukakannya untuk saya.

“Semuanya sudah terlanjur, Ra. Bagaimana lagi? Kamu sudah memilih, kan?” tanya saya, kini dia yang mengangguk pasrah pada lengan saya.

“Maaf, mas.” katanya pelan.

“Maaf tidak bisa mengubah segalanya yang tlah terjadi, Ra.” saya tersenyum.

“Aku tau.”

“Aku pikir..-” katanya pelan. “Siapa pun itu yang menciptakan kata ‘maaf’ sungguh sia-sia.” guraunya pedas.

Saya kembali tersenyum mendengarnya. Saya tahu dia tidak rela, sama seperti saya, jadi saya memakluminya.

“Tidak ada yang sia-sia, Ra.” saya mengusap rambutnya yang hitam, panjang, dan bergelombang. Harum apel menguar dari sana serupa melati yang sedang mekar. Saya selalu suka mengusap rambutnya seperti seorang ayah kepada anak perempuannya. Amira begitu kekanak-kanakan, tapi terkadang kedewasaannya melampaui saya yang tiga tahun lebih tua darinya. Saya menikmati udara di depan saya; aroma apel dan harum lavender yang menguar dari tubuhnya. Mungkin, aroma yang sedang saya hirup kali ini adalah aroma surga terakhir yang saya bisa nikmati. Aroma Amira. Ah, begitu saya tidak menginginkannya pergi. Begitu saya menginginkannya tidak memilih apa-apa selain saya.

“Kamu pasti tau kenapa aku jatuh cinta padamu kan, mas?” tanyanya berdesis, mirip bisikan ular.

Saya menggeleng. Saya tidak tahu. Dia tidak pernah memberikan alasan mengapa dia jatuh cinta pada saya dan menerima saya masuk ke dalam hidupnya. Yang saya herankan, mengapa dia menanyakan hal seperti ini di saat semua sudah hampir selesai.

“Kamu mempunyai apa yang dia tidak punya.” dia menjawabnya sendiri.

“Begitu kah? Tapi sayangnya, hal itu tidak membuat kamu memilih aku, kan?” saya menggoda. Oke, mungkin saya kelewat denial, bisa-bisanya menggoda dia lagi setelah apa yang dia katakan.

Amira terdiam. Dia tertunduk pada di lengan saya. Tangannya masih erat memelukinya. Hidungnya menempel pada lengan kemeja saya. Mungkin, dia sedang mengambil aroma saya untuk diingat kembali nanti, atau dibayangkan kembali ketika dia sedang memeluk kekasihnya yang sebenarnya. Ya, kekasih Amira yang sebenarnya. Dan bukan saya orangnya.

“Kamu nggak seharusnya datang ke hidup aku, mas.” perempuan itu terisak. Saya mendengar suara tangisnya yang selirih puisi patah hati.

“Kamu seharusnya nggak buat aku terpukau!” kini dia menghajar lengan kemeja saya dengan air matanya yang berderai.

Salah. Seharusnya kamu tidak perlu datang ke pentas malam puisi di kedai itu bersama kekasihmu. Seharusnya kamu bermalam minggu di tempat lain. Seharusnya saat itu saya tidak membawakan ‘Kepada Hawa’-nya Aan Mansyur. Seharusnya kamu tidak mendengar suara saya. Seharusnya kita tidak usah bertemu di kedai yang sama malam itu. Seharusnya saat itu kamu tidak sendiri dan terlihat sedih di kedai itu. Seharusnya saya diam saja di tempat saya dan tidak usah menghampirimu. Seharusnya saya tidak menanyakan nomormu. Seharusnya saya tidak mendengarmu bercerita tentang dia-mu. Seharusnya kamu tidak mendengar saya bercerita tentang hidup saya. Seharusnya kita tidak usah bertemu sama sekali. Di mana pun, kapan pun. Seharusnya tidak ada kita.

Banyak kata seharusnya menggerayangi isi kepala saya, tetapi saya tahu, kata seharusnya atau seandainya sama saja seperti kata maaf. Sia-sia. Oke, tidak ada yang sia-sia, tapi kalau memang tidak ada gunanya apa lagi bila bukan sia-sia namanya? Entahlah, lagi-lagi saya bilang, sulit mencerna akal sehat bila hati sedang runyam.

“Oke, begini, Amira, bila kamu sudah memilih dia, lupakan aku. Oke? Ini kan resiko dari hubungan kita. Kamu harus memilih salah satu.” kata saya mencoba tenang. Saya rasakan, kepalanya menggeleng di pelukan saya.

“Kamu nyuruh aku lupain kamu, mas?” dia bangkit. Rambutnya jatuh berantakan. Air mata membuat beberapa anak rambutnya menempel di wajahnya.

“Habis gimana? Kita nggak bisa nerusin ini, kamu yang bilang kan?” saya hampir emosi. Bukan, bukan pada Amira, tapi pada diri saya sendiri. Baru kali ini saya melihat Amira menangis karena saya.

“Kamu emang nggak pernah serius sama aku, mas. Pergi dari kamu aja belum tentu aku bisa, terus kamu suruh aku lupain kamu?!” suaranya meninggi. Saya memejamkan mata. Sulit melihat matanya manakala dia menangis.

“Begini Ra, dia sudah melamar kamu, dan kamu juga sudah menerimanya, kan? Dia kekasihmu yang sesungguhnya, Ra. Bukan aku, oke?” Damn! I hate myself for screaming at her. Saya tidak pernah berpikir untuk membentaknya, tapi kali ini saya melakukannya.

Dia tercenung. Kaget oleh kata-kata saya barusan. Oleh perkataan saya. Saya sendiri juga kaget, betapa saya tega membentaknya hanya karena saya sedang marah kepada diri saya sendiri. Saya marah karena seharusnya saya tidak memulai semuanya. Dan kini saya bertambah marah oleh sebab yang lain lagi; saya tlah melukainya.

“Harusnya aku udah tau dari awal. Kamu emang nggak pernah serius sama aku. Terima kasih, mas, ternyata perjuangan kamu hanya sampai sini. Aku pergi.” Amira beranjak dengan tas merah jambu yang tersampir di bahunya. Dia pergi setelah menghapus air matanya dengan tangannya sendiri. Dia pergi, dengan amarah.

Kini, kata seharusnya berceloteh lagi dalam kepala,

Seharusnya, saya yang menghapus air mata terakhir itu.

Seharusnya, saya tidak membiarkannya pergi dengan amarah.

Seharusnya, saya tidak membiarkannya pergi.

Aku tau dia yang bisa
Menjadi seperti yang engkau pinta
Namun selama napas berembus
Aku kan mencoba
Menjadi seperti yang kau minta


Amira, aku sudah bisa menjadi apa yang kau minta;
Membiarkanmu bahagia, dengan pilihanmu yang bukan aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar