Kamis, 06 Oktober 2016

Kota Lampu-Lampu

pada gerimis yang rintiknya telah selesai
di sebuah kota yang kini basah
oleh lampu-lampu sebagai bayang-bayang sepi
dan mereka yang sibuk menulis kisah

“tulislah sebuah puisi,” katamu
di belakang tubuhmu, kuhirup wangi hujan
“tentang hujan dan kota lampu-lampu.” tandasmu
dalam kepala, kutulis namamu sebagai judul puisi

kunamai engkau kota lampu-lampu
di mana hujan bisa menjelma jutaan cahaya
pada jalan-jalan basah oleh kenangan
dan air mata para perindu

merah, hijau, kuning, biru
jalan-jalan beradu warna
siapa yang paling terang, siapa paling indah
tak ada yang mampu menandingimu; kota lampu-lampuku

pada hidupku yang pernah hujan berkali-kali
kau ialah kota lampu-lampu
yang buat luka memiliki warna
yang buat satu padu keindahan

hujan dan lampu-lampu
diciuminya jalan-jalan dengan hujan, dan lampu-lampu
yang basah oleh kenang, oleh kita

biar lukaku terus hujan
hidupku pun
tetapi kau, tetap menjadi kota lampu-lampu
yang mengindahkan hujanku

-wid
Jakarta, 06 Oktober 2016

Gedung-gedung bisa menua, tetapi kenangan tidak. Sebuah kota bisa kehilangan pesonanya tapi memori tentang manusia yang hidup disana abadi. Andai mengulang masa lalu semudah duduk di alun-alun dan menatap gedung tua penuh sejarah, tentu takkan kusesali segala gelisah yang kerap mampir saat kita bersama.

Bandung, aku rindu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar